"Kamu yakin?" Untuk kesekian kalinya, Mas Alby menatapku dengan pandangan tidak yakin.Ah, ralat. Maksudku, Papa. Meski sudah berusaha mengucapkan kata itu ratusan kali, aku masih belum terbiasa menggunakan panggilan itu pada Mas Alby. Kemarin, saat aku memutuskan untuk belajar memanggilnya Papa—dan tentu saja Mbak Agnes juga akan kupanggil Mama—Mas Alby bilang, dia tidak akan memaksaku. Dan aku tidak boleh terbebani soal itu. Namun, itu malah membuatku semakin yakin kalau ini memang saat yang tepat untuk mulai mengubah panggilanku.
Selama ini Mas Alby sudah berperan sangat penting bagi hidupku. Kalau tidak ada dia, mungkin saat ini aku bakal depresi karena segala masalahku tidak dapat terlampiaskan dengan baik. Dan setelah kupikir-pikir, segala hal yang Mas Alby lakukan selama ini sudah lebih dari cukup untuk mengisi peran ayah dalam hidupku.
Aku mengangguk yakin, kemudian menoleh pada Kenzi sekali lagi. Bocah itu sedang asyik dengan permen Yupi-nya, sehingga tidak memedulikan tatapanku dan Papa yang tertuju padanya.
"Hitung-hitung sekalian aku latihan momong anak," jawabku pelan.
Kening Papa menatapku penuh ancaman. "Momong anak maksudnya apa? Kuliah aja belum kelar udah mikir aneh-aneh aja!"
Kemarin setelah aku memutuskan perubahan terbesar dalam hidupku—dengan sepenuhnya menganggap Mas Alby dan Mbak Agnes sebagai Papa dan Mamaku, aku jadi kepikiran kalau itu berarti Kenzi resmi jadi adik tiriku, bukan lagi keponakan. Lalu aku jadi ingin mencoba mengasuh Kenzi dulu selama sehari penuh, sebagai latihan sebelum menghadapi Icam.
Sejak pertama kali bertemu Icam, wajahnya terus terbayang di otakku meski sudah berlalu beberapa bulan. Kemudian, ucapan Vika kemarin menyadarkanku bahwa aku tidak bisa kehilangan Dicky sepenuhnya. Saat ini aku masih dapat bersikap santai karena Dicky terlihat sangat berantakan karena berakhirnya hubungan kami. Membuat aku merasa bahwa perasaannya padaku itu benar-benar nyata. Tahu kan, pepatah yang bilang bahwa ketulusan seseorang baru terlihat jelas saat kita sudah kehilangannya?
Itu yang tengah kurasakan sekarang. Dan aku ingin mulai mencoba untuk menerima semuanya. Tidak seharusnya aku sangat egois dengan langsung meninggalkan Dicky karena perbedaan prinsip kami. Padahal dalam sebuah hubungan itu kan tidak selamanya sama. Ada yang dinamakan toleransi untuk menyatukan dua kepala yang berbeda. Ditambah lagi, kisah Dicky dan Mamaku itu mirip sekali. Aku merasa bersalah pada Mama, karena keberadaanku membuatnya kesulitan mencari pasangan. Bahkan dia sampai pernah merasakan gagal menikah, hanya karena sudah punya anak. Mirip dengan yang dialami Dicky. Dia kuputuskan karena sudah punya anak.
Semuanya kumulai dari belajar mengurus anak. Mumpung aku punya adik yang jarak usianya hanya terpaut satu tahun dari Icam, aku bisa memanfaatkan dia untuk belajar. Tentu saja Icam dan Kenzi berbeda. Namun, tidak ada salahnya mencoba dulu kan?
Sekarang, aku minta izin pada Papa untuk membawa Kenzi pulang ke rumah Ibu. Di mana tidak ada siapa pun selain aku dan Kenzi. Jadi aku akan sepenuhnya mengurus Kenzi seharian, mumpung besok hari Sabtu. Kalau aku berhasil mengurus Kenzi seharian, aku akan mencoba mengajaknya main ke mal di mana Kenzi jadi sangat aktif dan ribet. Lalu tahapannya akan naik menjadi mengurus Kenzi seminggu penuh.
Nanti setelah mulai terbiasa dengan anak kecil, aku baru akan mendatangi panti asuhan Icam untuk berkenalan lebih dalam pada anak itu. Untuk urusan bapaknya Icam, akan kuurus belakangan kalau pemikiranku soal anak sudah kupertimbangkan ulang.
"Ya udah, nanti kalau Kenzi nangis atau kenapa gitu, langsung telpon ya!" pesan Papa meski wajahnya masih terlihat tidak yakin.
Aku mengangguk mantap. Lalu membawa travel bag Kenzi yang disiapkan Papa sendiri. Kemudian melangkah pada kamar Mama untuk berpamitan. Namun, setelah kupanggil beberapa kali, Mama tidak menyahut. Omong-omong, aku belum memberitahu Mbak Agnes soal keputusanku untuk mulai memanggilnya Mama. Sejak kemarin aku belum punya waktu untuk mengobrol dengannya. Gejala muntahnya makin parah seiring kandungannya yang membesar. Selain itu aku juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan Kenzi, sehingga setiap kali ada perlu dengan Mbak Agnes, selalu kukatakan pada Papa sebagai perantaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...