54. Lo Siapa?

7.2K 960 25
                                    

Tidak pernah terbesit di otakku bakal bertemu dengan Dicky dan Icam di sini. Aku mengunjungi kedai gelato yang dekat dengan rumahku dan sudah terkenal enak. Selama bertahun-tahun tinggal di Jogja, baru sekali aku makan es krim di sini. Jadi tidak ada salahnya mengajak Kenzi ke sini. Siapa sangka, Dicky dan Icam juga menghabiskan akhir pekannya di sini.

Setelah mendapatkan gelato yang kuinginkan, aku mengajak Kenzi mencari tempat duduk. Sementara Dicky masih mengantre. Aku tidak tahu dia mendapat nomor antrean berapa, yang jelas tatapan matanya yang datar mengganggu perasaanku. Dia menatapku seolah aku adalah orang asing yang baru dia temui hari ini.

Memangnya aku berharap apa? Dia menatapku dengan penuh cinta setelah aku mengakhiri hubungan kami begitu saja?

Aku mengajak Kenzi naik ke lantai dua, yang tidak terlalu ramai dengan orang-orang yang baru datang dan sedang mengantre. Kenzi tampak kegirangan karena es krimnya, sama sekali tidak peduli dengan perasaanku yang carut marut.

"Ate bilang yang green rasanya nggak enak! Ini enak banget lho!" seru Kenzi dengan mulut belepotan gelato. Dia bersikeras minta gelato yang cone, tidak mau yang cup. Padahal porsi cone-nya ini besar sekali, sampai wajahnya nyaris tertutup.

Aku mendengus, tidak menanggapi. Seandainya aku menuruti permintaannya memberikan gelato rasa kemangi, mungkin dia bakal marah-marah. Bodohnya, kenapa aku nggak kepikiran membelikan rasa matcha yang sama-sama berwarna hijau ya?

Tuh, kan, aku memang belum bisa sabar menghadapi anak kecil. Bahkan untuk memahami keinginannya pun aku masih belum bisa. Kenzi hanya menunjuk warnanya. Jadi seharusnya aku yang berinisiatif mencarikan rasa gelato lain yang enak dengan warna yang dia mau. Bukannya malah memilihkan warna lain yang tentu saja bakal ditolak. Cuma perkara gelato saja, aku menghabiskan waktu sepuluh menit dengan Kenzi untuk berdebat. Bagaimana dengan hal lain?

Di sela makan gelato, tidak lupa aku mengirimkan fotoku bersama Kenzi pada Papa sebagai laporan. Aku memaksa Kenzi selfie dengan gelato kami masing-masing.

Papa: dia makan es krim matcha?

Papa: kamu pilihin apa mau sendiri?

Aku: dia yang mau

Papa: dia suka matcha?

Aku: suka-suka aja tuh, ampe belepotan

Papa: anak aku banget tuh! sukanya matcha. Mamanya nggak suka. Masa dikatain rasanya kayak rumput?

Aku: aku gak suka matcha

Papa: ya kamu kan emang anak Mama

Entah kenapa cuma membaca pesan itu saja mataku memanas. Rasanya aku tidak menyangka akan sampai di titik ini. Aku yang dulu pasti bakal langsung membenci Mas Alby dan Mbak Agnes karena sudah membohongiku bertahun-tahun. Bahkan kalau dipikir-pikir, sama saja Mbak Agnes nggak mengakuiku sebagai anaknya, kan?

Sampai sekarang pun aku masih terus mengapresiasi sikapku saat menerima semuanya. Ini tidak mudah untukku. Sejak kecil kehidupan di sekitarku berpusat padaku. Perhatian Ibu sepenuhnya tertuju padaku. Mengaturku ini-itu, tidak lagi memperhatikan anak pertamanya yang dianggap sudah dewasa, sedangkan aku selalu dianggap masih kecil. Perhatian Papa Alby dan Mama juga selalu tertuju padaku. Mereka semua mengutamakan aku di atas segalanya, membuat egoku meninggi. Aku tidak terbiasa mengalah atau memikirkan perasaan orang lain, karena selama ini aku selalu merasa menjadi yang paling menderita karena kekangan dari Ibu.

"Ate, es krimnya meleleh!" seruan Kenzi berhasil mengembalikan kesadaranku.

Benar saja, tangan kananku kini terkena lelehan gelato. Tisu yang menjadi pembungkus cone gelatoku sudah kupakai untuk mengelap meja saat tadi ada yang menetes. Jadi sekarang aku tidak punya tisu lagi untuk membersihkan tanganku.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang