32. Childfree

8.6K 1.3K 56
                                    

Ucapan Dicky di kelas tadi sudah cukup menenangkanku. Seketika hatiku terasa utuh. Apalagi mengingat bagaimana caranya menatapku. Seakan pancaran dari sinar matanya ikut menegaskan kalau apa yang Dicky sampaikan itu betulan dari hatinya. Bukan hanya omong kosong belaka.

Karena itu juga, kini hariku terasa begitu cerah. Tiga matakuliah yang kujalani terasa sangat ringan. Yah, meski di menit-menit terakhir, aku jadi tidak sabar ingin segera berakhir dan keluar dari area kampus.

Selesai bernegosiasi dengan Pak Jono, Dicky sungguhan mengajakku ke kosnya. Meski sebelumnya dia sempat menggodaku ke arah yang iya-iya, pada kenyataannya, itu hanya candaan. Dia menyerahkan kotak paket albumku yang kubeli tempo hari. Kemudian meninggalkanku begitu saja di ruang tengah kosnya, sementara dia ke kamar.

Baru satu album kubuka, Dicky keluar dari kamarnya dengan tergesa. "Aduh, Ren, bentar ya, ini si Reno tiba-tiba telepon. Katanya dia minta tolong urgent banget, tapi nggak bilang apa-apa. Aku samperin ke kosnya bentar, ya! Janji nggak akan lama!"

Lalu tanpa menunggu persetujuanku, Dicky keluar begitu saja. Meninggalkanku di kosnya yang masih berusaha mencerna apa maksud ucapannya.

Hari ini Reno memang tidak berangkat kuliah. Aku pikir, tidak ada masalah berarti karena kemungkinan besar dia masih kecapekan setelah mendaki gunung hari Jum'at kemarin. Aku pun mengecek grup kelas. Barangkali Reno mengatakan sesuatu di sana.

Bahkan aku juga sudah mengecek Instastory dan status Whatsapp-nya, siapa tahu dia sempat mengunggah sesuatu. Namun, aku tidak menemukan apa pun.

Daripada berpikir yang tidak-tidak, aku pun memutuskan untuk lanjut membuka albumnya. Meski rasanya tidak se-excited sebelumnya karena pikiranku jadi tidak tenang. Namun, di sisi lain aku tersanjung karena Dicky mempercayakan kamar kosnya padaku. Memang sih, aku tidak akan melakukan apa-apa juga di sini. Tapi tetap saja, tidak semua orang mau meninggalkan orang lain di tempat tinggalnya sendirian.

Satu jam berikutnya, di saat aku sudah selesai membuka semua albumku, Dicky belum juga menampakkan batang hidungnya. Dia bahkan tidak membaca pesan yang kukirim. Akhirnya aku menyalakan televisi, menonton tayangan apa saja yang bisa membunuh waktu.

Entah sudah berapa lama, akhirnya Dicky datang. Napasnya terengah-engah. Dia langsung berjalan ke kulkas untuk mengambil botol air dingin, dan meneguknya langsung sampai hampir setengah botol.

"Kenapa sampai ngos-ngosan gitu sih?" tanyaku sambil berjalan mendekat.

"Reno nyebelin banget! Ternyata dia cuma iseng. Habisnya dia ngechat, 'Tolongin gue, urgent banget." Pas aku udah buru-buru ke sana, nggak taunya dia cuma baru bangun tidur, terus kelaparan dan nggak tau mau makan apa. Sampai sana, aku cuma diajak makan bareng. Kampret banget, kan?" keluhnya sambil merangkulku dan mengajakku kembali duduk di sofa.

Aku geleng-geleng kepala. "Terus sekarang kamu udah makan?"

"Belumlah, aku kepikiran kamu. Jadi aku cuma beliin dia makanan, terus langsung balik," sahut Dicky kemudian, sambil merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponsel. "Kamu udah laper banget ya? Sori deh, sekarang mau pesen makan apa?"

"McD aja kali ya, yang cepet," saranku.

Dicky langsung setuju. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk memilih menu. Kemudian dia bangkit dari sofa. "Aku mandi bentar ya, gerah banget nih!"

"Lagian ngapain sih, lari-lari segala?" decakku.

Dicky malah mengerling. "Aku nggak mau kamu nunggu kelamaan."

Berhubung aku tidak menanggapi, dia pun berlalu memasuki kamarnya. Aku kembali menonton televisi, meski sebenarnya tidak terlalu paham dengan acara yang sedang tayang. Jantungku berdegub lima kali lebih kencang ketika Dicky keluar dari kamar dengan bertelanjang dada, hanya memakai boxer selutut berwarna hitam yang letaknya agak kebawah, sehingga lapisan celana di baliknya sedikit terlihat.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang