21. Unboxing

12K 1.6K 312
                                    

Sebetulnya aku sendiri masih tidak bisa mendefinisikan bagaimana perasaanku pada Dicky. Tadinya, aku pikir tidak ada salahnya menanggapi semua ocehan dia, sampai nanti dia capek sendiri. Toh, aku sendiri juga sedang butuh hiburan.

Namun, seiring berjalannya waktu ada rasa nyaman yang membuatku ingin terus bersinggungan dengannya. Apalagi setelah kami melakukan video call selama setengah jam kemarin.

Malam itu, aku menyuruh Dicky kembali masuk ke bar, menghabiskan minuman yang katanya sudah dia pesan, tapi malah ditinggalkan begitu saja. Sekaligus, aku ingin mengetahui bagaimana suasana bar terkenal di kota ini.

"Temen-temen lo nggak papa nih, dari tadi lo malah video call sama gue terus?" tanyaku setelah berlalu dua puluh menit.

"Santai, mereka udah pada sibuk sendiri-sendiri."

Kalimatnya tetap tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik. "Beneran? Gue nggak enak deh! Kan niatnya lo ke sana mau nongkrong sama temen-temen lo, bukan mau video call gue!"

"Mereka tuh ngajak gue, cuma biar ada yang bayarin open table aja. Pas udah di sini juga sibuk cari cewek sana-sini! Tuh, liat!" Kemudian Dicky mengarahkan kamera ponselnya ke sekitar, sehingga aku bisa melihat sekelilingnya.

Benar saja, sofa yang melingkari meja tersebut di isi oleh teman-teman Dicky bersama pasangan masing-masing yang tidak kukenal satu pun.

"Lo nggak cari cewek juga?"

"Lah, ini gue kan lagi video call cewek gue!"

Selanjutnya, dia kembali meneguk minumannya sambil mendeskripsikan bagaimana rasa dari setiap minumannya. Dia juga merekomendasikan beberapa minuman yang menurutnya cocok untukku. Membuat aku jadi semakin penasaran ingin mencobanya langsung.

Selesai video call, aku merenung cukup lama sambil memandangi pantulan tubuhku di cermin.

Tinggal beberapa bulan lagi, umurku genap 21 tahun. Dan selama itu juga, aku belum pernah ciuman. Jangankan ciuman, pacaran saja belum pernah.

Dulu kupikir, setelah usiaku 18 tahun, aku bisa merasakan itu semua. Setidaknya aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki seseorang yang selalu mendengarkan segala keluh kesahku. Dan aku penasaran bagaimana rasanya jika ada satu orang saja yang memuja seluruh tubuhku seolah aku adalah manusia paling berharga di muka bumi ini.

Makanya belakangan ini aku merasa kalau menanggapi tingkah random Dicky adalah hal yang paling tepat untuk mencapai segala keinginanku itu. Dicky mungkin tidak seperti laki-laki yang selama ini aku idamkan. Namun, dia juga tidak seburuk itu untuk menjadi pacarku. Banyak hal yang bisa kubanggakan dari Dicky, yang bisa kumanfaatkan juga.

Dan yang terpenting, dia pasti sangat berpengalaman.

"Jadinya mau ke mana? Kintan Buffet atau Sushi Tei?" tanyanya begitu kami sampai di tempat parkir, seusai kuliah.

Begitu aku keluar kelas, Dicky langsung memelototiku penuh isyarat seolah ia adalah rentenir yang tengah menagih utangku. Akhirnya kami berjalan berdampingan sampai tempat parkir.

Aku berpikir sejenak. Restoran mahal seperti itu sangat tidak cocok dengan penampilanku sekarang yang hanya memakai celana jeans, kemeja biru polos dan totebag canvas murahan. Dan jangan lupakan sepatu Converse-ku yang sudah berumur.

Di saat aku tengah menimbang harus pergi ke mana, ponsel di tanganku membunyikan notifikasi pesan masuk.

Nana:
Ren, album lo baru aja dateng nih! Lo mau ke kos gue, atau besok gue bawain ke kampus?
album gue malah belum dateng:(
kalo lo mau unboxing duluan gak papa kok. gak usah bareng, yang penting nanti kalo lo dapet kyungsoo kabarin gue ya!

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang