Hi!
Happy reading:)Terasa amat sesak melihat sahabatnya tergeletak berlumur darah di pinggir jalan, terlebih ia menyaksikan sendiri kejadian tersebut, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kejadian begitu sangat cepat.
Selain itu, rasa marah teramat menguasai dirinya kala melihat mobil penabrak dengan mudahnya meninggalkan korban begitu saja tanpa bertanggung jawab.
Sumpah serapah ia sebut dengan lantang saking kesalnya. "Hell! What the shit you are! Fuck you!"
Ternyata tak jauh di belakangnya ada Karel yang juga menyaksikan kejadian tersebut, lalu disusul Ghifa yang tubuhnya langsung ambruk menimpa Karel di depannya. "Ghifa, tenang, atur napas pelan-pelan, tarik napas ... buang ... tarik napas ... buang." Karel segera menepis kepanikannya kala ingatan deja vu-nya mendadak terputar dimana Ghifa yang hemophobia-nya kambuh mengalami sesak napas saking paniknya melihat darah.
Sedangkan Dhito yang tak ingin membuang banyak waktu segera berlari menghampiri Elin yang tergeletak tak berdaya, lalu memangku kepala Elin yang bersimbah darah pada pahanya sembari menenangkan Elin yang terus menyebut namanya disela-sela ucapannya. "Dhit ... bunda ... maaf, Dhit!" lirihnya sangat pelan pada Dhito yang tengah sibuk menelepon ambulance.
Sialnya, jalanan sangat sepi, jarang sekali kendaraan lewat karena Elin berlari ke belakang komplek yang berlawan arah dari rumahnya entah apa alasannya.
"Bertahan, Lin!" Dhito berusaha tegar, namun runtuh saat melihat air mata mengalir dari sudut mata Elin.
Tangis Elin semakin menjadi kala rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Kemudian, sebelah tangannya meremas roknya dengan harap dapat mengurangi rasa sakit, lalu memalingkan wajahnya dari Dhito lantaran enggan mendapat tatapan iba.
"Sakit, Dhit!" keluh Elin agak berteriak yang sebelah tangannya memegang bahu Dhito, lalu meremasnya dengan kuat.
"Karel! Elin, Rel!" teriak Dhito saking paniknya melihat Elin yang mulai kesusahan bernapas, belum lagi darah tak henti-hentinya keluar dari kepalanya.
Yang dipanggil kini dilanda kebingungan. Antara tetap di tempatnya sembari membantu Ghifa mengatur napasnya atau berlari menghampiri Elin yang mulai kesusahan bernapas?
"Anjir, Karel! Cepet sana! Gue nggak pa-pa," geram Ghifa melihatnya masih terdiam di tempat.
Ibarat lampu hijau menyala, Karel tanpa pikir panjang segara tancap gas. Setibanya di hadapan Dhito dan Elin, betapa terkejutnya ia ketika melihat Elin tak sadarkan diri, belum lagi Dhito yang menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan.
"REL! Elin nggak napas, Rel! Nadinya juga nggak ada." Karel yang baru sampai, belum lagi merasakan sesak di dada melihat kondisi Elin kini dibuat terkaget mendengar ucapan Dhito.
Karel belum bereaksi apapun bak orang yang membeku, namun perhatiannya mulai teralihkan kala mendengar Ghifa yang ada di belakangnya menangis sejadi-jadinya sembari memukuli dirinya sendiri. Lalu, bak dirasuki Splash, ia berlari secepat kilat dan langsung membekap dari belakang tubuh Ghifa yang masih memberontak dalam pelukannya.
Ghifa berusaha keras melepas pelukan Karel, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Karel. Setelah itu tangannya menyambar pundak Karel. "Gue bunuh Elin? Ini semua salah gue, kan? Coba tadi gue ngomong baik-baik, nggak kebawa emosi saking kecewanya. Rel, gue harus ke kantor polisi buat nyerahin diri, lo mau anterin gue 'kan sekalian jadi saksi?"
Karel yang bingung segera mencubit keras pipi Ghifa dengan harap yang dicubit sadar akan perkataannya. "Bukan lo, gue ataupun Dhito penyebabnya. Lo liat sendiri semuaya. So, don't blame yourself!"
KAMU SEDANG MEMBACA
School of Lies ✓ [TERBIT]
Mystery / Thriller[COMPLETED] ________________________ - the mission behind the lie, and guess who's telling the truth! Mari memasuki dunia Victory High School, dimana mereka yang diistimewakan menutup banyak kebohongan. Dari yang masih dibatas wajar sampai yang kura...