35. Nobody Knows

359 158 569
                                    

Hi!
Happy reading:)

Yohan menelan salivanya kasar, ia kenal betul suara orang yang membekapnya di depan umum akibat tindakan gegabahnya. Kakaknya ini memang suka bermain dengan kata-kata, bahkan ia hafal semua pertanyaan aneh yang pernah dilontarkan padanya.

"Grow sunflower," jawabnya cepat.

Jelas ia memilih sunflower yang melambangkan kepatuhan dan kesetiaan daripada jasmine yang melambangkan perpisahan di acara pemakaman karena seusai pengkhianatan yang ia lakukan, bunga melati akan menghiasi makamnya besok juga.

"Udah saya bilang minum obatnya dulu, jadi kumat 'kan," kata Firman asal yang langsung melepaskan bekapannya pada Yohan, lalu keduanya menunduk dan keluar ruangan tanpa sepatah katapun.

Hakim ketua mengetukkan palu sekali. "Semua harap tenang!" peringat hakim ketua.

*****

Para polisi yang ditugaskan untuk menangkap tersangka Malika baru saja tiba di kediaman tersangka, namun mereka tak sendiri karena mendadak banyak wartawan berdatangan.

Tak ingin membuang waktu, para polisi yang melihat pagar rumah terbuka pun segera menerobos masuk, namun mendadak dikejutkan dengan keluarnya seseorang dengan pakaian serba hitam, belum lagi rambut panjang yang menutupi wajahnya.

"Permisi, apa di dalam ad--" kalimat salah seorang polisi terpotong kala gadis di hadapannya mendongakkan kepalanya bak hantu.

"Sialan, aing reuwas!" latah seorang polisi dengan name tag Juan di bajunya kala melihat wajah orang di hadapannya yang tak lain adalah Malika. [Reuwas : kaget]

Sembari mengelus dadanya, Juan tanpa aba-aba langsung memampangkan surat penangkapan tepat di wajah Malika. "Anda kami tangkap atas tindakan pembunuhan berencana. Mohon kerja samanya untuk ikut kami ke kantor polisi, hak-hak tersangka juga akan Anda dapatkan."

Kaget? Entahlah. Karena yang ditangkap sama sekali tak memberontak, bahkan kini tangannya diborgol dan kedua pundaknya dipegangi dua orang polisi wanita. Lalu, ia yang baru selangkah melangkah dikejutkan oleh teriakkan seseorang dari ambang pintu.

"Tunggu!" teriakkan dari seorang Ibu yang tak lain adalah Lisda.

"Bukan Malika, tapi Malira! Dan Malira baru saja meninggal dunia kemarin." Lanjutnya yang entah hanya untuk mengecoh atau benar adanya.

"Saya peringatkan untuk tidak menghambat proses penangkapan!" tegas Juan.

"Malira jatuh dari balkon kam--"

"Jelaskan dan buktikan nanti di kantor polisi karena penangkapan tidak bisa dinegosiasi," selanya yang langsung memberi arahan pada dua polisi wanita agar segera membawa Malika. Sedangkan ia memutuskan untuk menenangkan Lisda agar tak berusaha menghambat penangkapan.

"Saya minta kerja samanya karena menghambat proses penangkapan tidak akan membuat orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka bebas. Satu-satunya cara untuk membebaskan hanyalah bukti akurat," lanjutnya.

"Tapi, saya tahu betul apapun bukti yang saya bawa tidak akan pernah diterima karena akan dianggap sebagai bukti palsu."

Lisda menghela napasnya kasar. "Jadi, saya minta geledah saja rumah saya agar apapun buktinya bisa diterima. Bahkan, saya pun tidak tahu harus membuktikannya dengan apa," pintanya.

School of Lies ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang