19. Psychopath?

484 214 584
                                    

Hai!
Happy reading:)

"Oh my God, mengapa dua anak misterius itu ada di sini? Mau ngapain juga di rumah sakit?" Dua anak yang Ergan maksud adalah Angga dan Malika.

Karena rasa penasaran menguasai dirinya, tanpa pikir panjang ia mulai melangkah mengikuti Angga, siswa yang paling ia curigai. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang menarik lengannya.

"Ergan!" panggil Tari dengan napas terengah-engah. Saat itu pula ia malah terfokus pada lengannya yang dipegang Tari dan tanpa sadar senyuman mulai terukir.

"Soal Joan ... Joan meninggal karena dibunuh, bukan sakit," lanjutnya sembari menatap Ergan dengan mata merahnya yang mulai berair.

"Hah?!" kaget Ergan mendengar ucapan Tari barusan. Pasalnya, sudah sebulan sejak meninggalnya Joan, baru hari ini ia mengetahui hasil autopsi tersebut.

Kini mereka berdua terduduk di pojok koridor, sengaja untuk menghindari keramaian agar Tari bisa menangis sepuasnya tanpa Ergan yang dicurigai sebagai penyebabnya.

Setelah puas menangis, Tari mulai buka suara sembari menatap Ergan dengan mata sembabnya. "Jadi, ini ... hasil autopsi yang kedua karena keluarga Joan sama sekali nggak puas sama hasil autopsi yang pertama. Alasannya karena hasil autopsi yang pertama nggak menjelaskan soal bekas luka di lehernya yang nggak wajar."

"Jadi, makam Joan dibongkar lagi?" tanya Ergan memastikan.

Tari mengangguk. "Iya, mau nggak mau harus dibongkar demi kejelasan dan penyebab sesungguhnya. Tapi, sidik jari pelaku belum teridentifikasi."

"Shit! Kok bisa? Berarti psikopat ada di sekitar kita," tebak asal Ergan yang mungkin saja tebakannya benar.

*****

Jam pulang sekolah telah tiba. Ghifa tidak pulang sendiri, ia ditemani ketiga friendshit-nya yang sangat mengkhawatirkan keningnya yang benjol serta memerah.

Kini mereka berempat tengah menuju parkiran motor dengan raut wajah yang berbeda-beda. Ghifa dengan raut wajah datarnya yang melekat sedari orok, Karel dengan raut wajah khawatir bukan main, Dhito dengan raut wajah penasaran sekaligus gemas dengan benjol di kening Ghifa, dan Elin dengan raut wajah marahnya serta tangannya yang mengepal ingin menghajar orang yang tega berbuat kasar kepada sahabatnya.

"Ghifa, jidat lo blushing," ucap Dhito yang matanya tak lepas menatap kening Ghifa.

Ghifa, Karel, dan Elin kompak menatapnya dengan sinis. "Gue salah, ya? Hampurakeun nya," ucap Dhito dengan cengiran.

"Bukan waktunya ngelawak pekok!" balas Karel dengan toyoran khasnya yang mendarat mulus di kepala Dhito.

"Anying! Nyéri u know?" Dhito ingin membalas, namun gagal karena kepalanya membentur tiang di depannya dengan keras.

"Wow! Double kill," ledek Karel yang tawanya mulai pecah.

"Mampus lo kualat sama kanjeng Ghifa." Tak mau kalah, Elin pun ikut meledek Dhito.

Ghifa menoleh ke arah Dhito yang sedang mengusap-usap keningnya. "Dhito, jidat lo blushing," ucap Ghifa meniru gaya bicara Dhito tadi.

"Anak setan lo pada! Tega bener nggak ada yang khawatir sama gue." Dhito menoyor satu-persatu kepala mereka bertiga.

"Sialan lo Juned bulepotan!" teriak kompak ketiganya.

School of Lies ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang