15. Ergan was Furious

531 231 501
                                    

Hai!

Happy reading:))

"Saya juga tau tentang salah satu murid kelas X mipa 1 yang berna--" kalimat Ergan terpotong karena dering telepon seseorang.

"Sebentar, ada wali murid yang nelpon." Ternyata ponsel Tari yang berdering. Untuk itu, ia segera pergi ke teras.

Ergan dan Teo saling menatap. Tatapan mereka seperti sedang bertanya satu sama lain. Lalu dengan waktu bersamaan mengangkat bahu tak tahu.

Setelah selesai bertelepon dengan wali murid, Tari bergegas masuk ke dalam rumah.

Sebelum melanjutkan diskusi, dipikir-pikir Ergan merasa aneh saat Tari memanggilnya 'pak'. "Bu, kalau di luar sekolah kita panggil nama aja, ya?"

Tari mengedipkan mata berulang kali. "B-boleh, t-tapi... kayaknya bakal sedikit canggung."

Teo yang mendengar obrolan mereka berdua pun sedikit terkekeh sembari menyenggol lengan Tari. "Eleuh-eleuh, ada yang gugup nih."

Teo langsung mendapat tatapan maut dari Tari. Kemudian, ia balas dengan cengiran.

"Oke, terserah Tari mau panggil saya apa. Asal jangan sayang, takut saya baper." Ergan menutup mulutnya malu karena ia baru sadar akan ucapannya barusan.

"Lupain. Murid yang saya tahu itu Dhito. Ternyata dia ponakan Yohan. Saya takut penyamaran saya terbongkar sebelum kasus Zian selesai," lanjut Ergan.

Tari terbelalak. "Yang barusan telpon saya itu Pak Yohan, wali Dhito."

Setelah mendengar ucapan Tari, mereka sangat panik dan khawatir misi untuk membebaskan Zian gagal ditambah lagi kasus kematian Joan baru-baru ini.

"Tadi Pak Yohan tanya soal R-regan," ucap Tari. Ergan yang mendengar pun refleks menunjuk dirinya sendiri. Lalu ditanggapi anggukan oleh Tari.

Tari melanjutkan, "Pak Yohan bilang kalau Dhito cerita ada guru yang mirip sama Regan--rekan kerjanya."

"Shit! Rekan kerja? Bullshit! Musuh kok bilang rekan." Ergan tak terima saat tahu perkataan Yohan ditelepon tadi.

"Tapi, ini bisa jadi ancaman buat kita kalau sampai identitas saya kebongkar. Selain itu, ini semua ilegal walau untuk kebaikan. Resikonya bukan cuma saya yang bisa dipenjara. Tapi, kalian berdua juga bisa ikut terseret." Lagi-lagi Ergan dibuat pusing dari pagi hingga malam.

Mereka bertiga sempat terdiam selama beberapa menit untuk menjernihkan pikiran.

Alih-alih menyelesaikan, Ergan lebih memilih mengakhiri diskusi karena hari semakin malam. "Tari, sikap kita harus biasa saja dan anggap saya benar-benar Ergan yang baik. Jangan pernah anggap saya sebagai Regan yang arrogant, oke?"

Walau itu bukan diri saya yang sebenarnya, lanjutnya dalam hati.

Tari menggeleng. "Nggak. Buat saya Ergan maupun Regan itu baik. Karena tanpa kebaikan dan ketulusan Regan, Ergan nggak akan ada." Tari sedikit tersenyum saat mengucapkan kalimat tersebut.

Teo yang mendengar pun ikut tersenyum, walau sejujurnya ia sedikit tak paham tentang ucapan Tari barusan.

Regan arrogant, Ergan baik, apa sih su? Orangnya 'kan sama aja, batin Teo.

*****

Hari Senin, Ghifa tidak diantar Gevan karena ia masih marah sejak 2 hari yang lalu. Ia lebih memilih berangkat dengan Karel yang kadang ugal-ugalan karena berangkat terlalu mepet jam masuk.

School of Lies ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang