chapter 3 - for dinner

37 6 0
                                    

Setelah dilepas dari sangkarnya, apakah burung akan kembali? Dia tidak punya kewajiban untuk itu.

***

Untuk kedua kalinya, Tera pingsan di sekolah. Keadaannya sama seperti sebelumnya. Upacara di hari Senin yang sedikit mendung suram.

Sebelumnya, ia memang tidak sempat sarapan di rumah—tidak menyempatkan lebih tepatnya. Gadis itu sudah bangun pagi dan melihat makanan tertata rapi di meja makan, tetapi kedua orang tuanya sudah berangkat kerja. Ia tidak berminat sarapan saat pagi-pagi, apalagi temannya hanyalah Magy atau Amandla, maid di rumahnya. Gadis berbola mata biru laut itu akhirnya melewatkan omelette kesukaannya itu. Memilih segera berangkat ke sekolah meskipun masih pukul enam lebih lima belas menit.

Ia langsung ditangani oleh petugas UKS, dibopong dengan tandu, lalu ditidurkan di brankar UKS dengan tenang.

Namun, mata Tera seolah tidak merem. Ia sedikit terjaga saat petugas UKS baru saja menutup kelambu di depannya. Hingga ketika sudah tidak kuat, ia menutup mata, entah tidur atau benaran pingsan.

"Tolong perkenalkan diri kamu, Nak."

Suara itu menyadarkan Tera dari meremnya. Ia tidak jadi menutup mata untuk istirahat. Perlahan matanya terbuka dan disuguhi pemandangan terang di hadapannya. Semua orang tengah menatapnya yang berdiri di depan kelas.

Gadis itu tidak sempat terkejut karena lirikan guru di sampingnya menyuruhnya segera memperkenalkan diri.

"Saya Lentera Amaya." Hanya itu yang diucapkannya dengan sedikit kebingungan.

"Hanya itu? Oke, mungkin kalian bisa kenalan sendiri nanti setelah jam istirahat. Sekarang, waktunya pelajaran. Kamu duduk di kursi kosong di belakang itu, ya, Lentera Amaya."

Kaki jenjang Tera menurut saja berjalan ke bangku paling belakang. Ia duduk di samping seorang gadis berambut cokelat tua lurus sebahu dengan poni menyamping.

"Murid baru, namamu tadi siapa? Kenalkan, aku Debra." Seorang gadis berambut pirang keriting yang duduk di bangku depan Tera itu mengulurkan tangannya untuk dijabat. Wajahnya tirus dengan hidung mancung dan terdapat freckles di pipinya.

Oh, iya, kenapa Tera merasa kebingungan? Ia, kan, murid baru, jadi wajar saja semuanya terasa aneh. Bahkan, wajah siswi yang duduk di sampingnya juga terasa aneh. Seperti pernah ia lihat di suatu tempat.

"Kamu ini pikun atau tuli, sih? Namanya Lentera," ucap sarkas siswi di samping Tera itu.

"Oh, ya, maaf, saya tidak bertanya kepadamu, ya, Nona." Debra melirik kesal gadis tadi. Sedetik kemudian, tatapannya ganti ceria lagi menatap Tera.

"Panggil saja Tera," kata Tera dengan senyum tipis.

"Salam kenal, Tera." Senyum Debra terlihat sangat lebar sampai seperti sedang dipaksakan. Lalu, segera melepas jabatan tangannya saat guru di depan menegur.

Siswi di samping Tera juga mengulurkan tangannya saat kelas kembali tenang. Ia tersenyum miring dengan pipi besar sebelah. "Aku Haiva. Salam kenal, Tera. Aku akan tambah senang kalau kamu mau jadi tokoh utama di cerita yang aku buat."

Tangan Tera yang baru saja menjabat tangan Haiva terasa mengganjal. Ternyata ia sedang menerima sebuah permen rasa susu dari Haiva. Gadis bertinggi tubuh sekitar 150 sentimeter ke atas itu tersenyum lebar, lalu menjulurkan lidahnya. Menunjukkan permen yang sama sedang berada di ujung lidahnya. Ia terkikik kecil, membuat Tera ikut tersenyum. Pantas saja pipinya besar sebelah, ternyata sedang mengulum permen.

"Aku Tera. Salam kenal juga, Haiva. Terima kasih permen dan tawarannya. Kalau boleh tahu, cerita apa?"

Haiva melirik tangan partner meja barunya itu menyembunyikan permen di laci meja. "Cerita—"

REFLECTION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang