Aku ingin memberi cahaya bagi orang-orang kurang beruntung yang selalu berada di kegelapan.
***
Kali ini, Mike dan Claire membiarkan Tera keluar kamar, tetapi masih belum boleh keluar rumah. Mereka seharian di rumah selama hampir seminggu penuh. Entah apa yang terjadi, dua orang itu tidak kerja dan tidak membiarkan Tera bersekolah. Mungkinkah mereka sedang mengawasi Tera agar benar-benar tidak keluar rumah? Berlebihan sekali.
Meskipun sebenarnya Tera sendiri tidak akan bersekolah, tetapi perlakuan kedua orang tuanya itu semakin mencurigakan saja. Apalagi saat keduanya terlihat tidak ada masalah apa-apa di hadapannya. Padahal Tera sangat tahu keduanya tidak sedang dalam hubungan baik.
Semakin lama semakin bosan saja gadis itu di rumah. Ia ingin segera bertemu Altha dan meminta laki-laki itu meneleportasinya ke dunianya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada dirinya di sana.
Terdengar suara bel berbunyi dari luar. Claire langsung berdiri dari duduknya di sofa ruang tengah.
Televisi masih menyala dengan Tera dan Mike yang duduk menikmati acara. Sebenarnya, acara di sini memang tidak begitu berbeda dengan di dunianya. Mereka menampilkan berita-berita terkini, termasuk berita kematian Haiva.
Kali ini, berita menampilkan seorang reporter yang mengatakan bahwa kasus pembantaian itu dianggap sudah selesai. Lalu, mereka mengingatkan untuk selalu waspada dan menghubungi nomor darurat negara apabila terjadi sesuatu mendesak. Entah bagaimana caranya, reporter itu berkata bahwa sang pembunuh sudah ditemukan dan diadili, tetapi mereka tidak bisa mengungkap pelaku itu ke media sosial. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan kasus seperti ini akan terjadi lagi di masa depan. Jadi, mereka mengimbau masyarakat untuk tetap waspada.
"Tera, ada temanmu datang."
Akibat terlalu fokus dengan berita itu, Tera sampai meminta agar mamanya mengulang ucapannya. "Kenapa, Ma?"
"Temanmu datang. Kalian bermain di teras saja, ya, tapi jangan sampai kamu keluar rumah. Oke?"
Tera bahkan tidak merasa punya teman di dunia ini. Satu-satunya teman yang ia punya justru meninggal dengan sadis. Lalu, yang terbersit dalam benaknya, yaitu Altha. Mungkinkah akhirnya laki-laki itu terang-terangan mengajaknya keluar?
"Tera, ingat, tetap di dalam, tidak boleh keluar," ujar papanya juga mengingatkan.
Rasanya muak sekali dengan perlakuan aneh mereka ini. Jadi, Tera hanya mengangguk menanggapi. Ia melangkah cepat keluar rumah, lalu menutup pintu utama.
"Kenapa?" tanya Tera dengan nada datar setelah sampai di teras depan.
Aneh sekali. Arvie rela mencari tahu alamatnya dan datang ke sini sepulang sekolah tanpa berganti pakaian lebih dahulu? Sepertinya ada hal penting yang ingin laki-laki itu sampaikan.
"Kamu tanya kenapa? Kamu tidak bersekolah selama seminggu lebih dan tidak ada yang mengetahui kabarmu. Padahal kamu punya tanggung jawab menjadi pemeran utama di klub drama. Kamu lupa? Apa maksudmu setelah Haiva pergi, semua ini berakhir?" Wajah Arvie terlihat susah diartikan. Terlalu banyak emosi mulai dari marah, kesal, sedih, takut, dan khawatir. Ia duduk di kursi meskipun belum diizinkan. Napasnya gusar, seolah baru saja mengeluarkan seluruh unek-uneknya padahal mungkin baru beberapa saja.
Tera masih berdiri membelakangi pintu. "Ya. Sudah berakhir, 'kan?"
Arvie menghela napasnya gusar. "Tera, aku tahu siapa kamu. Entah apa tujuan kamu ke sini, tapi aku yakin kamu pasti sedih dengan kepergian Haiva. Aku pun sama."
Kalau saja mereka tidak berada di rumah Tera, mungkin gadis itu akan menanyakan secara lanjut apa maksud perkataan Arvie itu. Namun, ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk mengalihkan topik karena ia dapat merasakan bahwa di belakang pintu itu, ada telinga-telinga yang sedang mendengarkan percakapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
REFLECTION [END]
Mystère / ThrillerPada beberapa kejadian, terkadang mimpi adalah sebuah dunia lain yang sebenarnya berdampingan dengan dunia nyata. Setiap pingsan, Tera akan menjalani hari-hari seperti biasanya. Lalu, ketika ia terbangun, seolah semua itu hanyalah mimpi dan ia ling...