chapter 10 - it's empty and dark

17 4 0
                                    

Kalau aku tidak ada, apakah mereka tetap akan melakukan hal ini? Kepada selain aku yang akan menjadi sepertiku ini?

***

"Satu, apakah kamu ingat alasan keluargamu pindah rumah ke sini?"

Melihat respons Tera yang menatapnya malas dan malah memalingkan wajah, Altha menghela napas.

"Oke, mungkin kamu mengira aku sama seperti Rain yang menuduhmu padahal kamu tidak tahu apa-apa. Ya, aku bisa memaklumi itu karena Rain adalah temanku sedari kecil dan kamu pasti sering melihat kita selalu bersama."

Tera meluruskan tubuhnya searah tempat tidur yang ia duduki. Matanya menatap air di sungai yang mengalir tidak begitu deras. Ia seperti mengenali tempat ini bukan saat ia disekap dua orang itu. Pernah ia lihat tempat seperti ini sebelum itu, entah di mana.

"Tapi, asal kamu tahu. Aku akan tahu beberapa fakta tentangmu, Lentera Amaya Miller, setelah kamu menjawab tiga saja pertanyaan dariku."

Seketika Tera menoleh mendengar laki-laki itu menyebut namanya secara lengkap. Ia tidak tahu ternyata dua orang ini telah menguntitnya sejauh apa. Maksud Tera, ia kira hanya sebatas menuduh yang bisa jadi mereka salah orang.

"Tidak. Aku tidak ingat," ucap Tera menjawab pertanyaan Altha tadi.

Altha tersenyum tipis. "Bagus. Kedua, apakah kamu tahu kenapa kamu bisa ada di sini?"

Tera setengah tidak paham. Pertama, pertanyaan itu bisa jadi menyangkut tentang kepindahannya, atau yang kedua, Altha itu bodoh. Jelas saja Tera bisa ada di sini karenanya yang mengajak ke sini.

"Bukan. Aku benar tanya, apakah kamu sadar jika kamu sedang berada di 'sini'?"

Semakin lama Tera curiga Altha bisa membaca pikiran. Buktinya sedari tadi selalu menyela apa yang sedang ia pikirkan.

"Tera, fokus. Oke, langsung ke pertanyaan ketiga saja. Apakah kamu—"

"Kamu ini aneh sekali," sela Tera sebelum Altha melanjutkan pertanyaannya yang berawalan 'apakah kamu' itu. "Kita belum pernah berkenalan dan baru bertemu saat sejak aku pertama kali pindah ke sini. Kamu menyebut namaku seolah sudah kenal lama, padahal sekali pun aku belum pernah menyebut namamu."

Untuk yang kedua kalinya, Tera berbicara panjang untuk hal yang tidak begitu penting.

Altha menatap Tera serius tepat pada manik matanya. Laki-laki itu terlihat sedang tidak ingin membahas hal lain.

"Tera, aku serius. Itu tidak penting untuk seka—oke, perkenalkan, namaku Altha Luceno. Kamu boleh memanggilku apa saja asal masih namaku. Dan namamu Lentera, 'kan? Kamu biasa dipanggil Tera, jadi aku boleh memanggilmu Tera juga?" Altha menarik napas, tidak membiarkan Tera menjawab atau menyela ucapannya lagi. "Sudah selesai. Kamu boleh menyebut namaku kapan pun kamu mau. Sekarang, aku ingin bertanya serius, tolong jawab dan jangan anggap ini hal tidak penting."

Mata Tera terpaku. Ia seolah baru saja dihipnotis Altha agar tidak melihat ke arah lain selain dirinya. Atau mungkin benar karena setelah laki-laki itu selesai berbicara, ia bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jadi, pertanyaan terakhir adalah apakah kamu tahu bahwa ada portal untuk keluar masuk dunia ini?"

"Hah?" Tera melongo, hampir melamun dan tidak sadar diri. Ia baru sadar lagi setelah Altha menjentikkan jarinya ke hadapannya.

Benar juga. Apakah Tera menyadari hal itu? Ia saat ini sedang di dunia mimpi. Ya, dunia yang tidak nyata. Tera baru ingat jika dirinya sudah ada di dunia ini lagi padahal beberapa waktu lalu seolah sudah balik ke dunia nyata. Entah bagaimana bisa ia sampai sini lagi.

REFLECTION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang