chapter 4 - she is there

27 5 0
                                    

Dia di sana, tatapannya seakan bisa membunuhku dalam sekali tusuk.

***

Tera sangat berharap ini semua adalah mimpi. Namun, ketika ia membuka mata lagi, udara seakan tidak mempunyai ruang untuk bertukar di dalam rongga dadanya. Matanya juga kesusahan terbuka.

Ia dicekik!

"Rain, berhenti, Rain!"

Seruan Altha sama sekali tidak digubris oleh Rain. Gadis itu dengan mata menyalang terus mengeratkan cekikannya pada leher Tera. Tenaganya jauh lebih kuat daripada Altha yang ingin melepasnya.

Sungguh, jika bisa, Tera ingin mati sekarang saja. Ia tidak bisa lagi bernapas atau berharap bisa membuka mata. Seluruh otot tubuhnya melemas. Wajahnya memerah sampai ujung kepala. Tangannya yang hendak melawan pun sudah tergeletak tidak berdaya di tanah, membiru.

Setelah melihat Altha yang memegang pisau tadi, Tera mengumpulkan seluruh niat untuk berlari dari sana. Ia hendak berteriak setelah sampai di pelataran. Namun, secara tiba-tiba tubuhnya diterjang oleh Rain yang ternyata sudah membebaskan dirinya dari ikatan di kursi sebelumnya.

"RAIN!"

BUAGH!

Tubuh gadis berusia tiga belas tahun itu terguling di tanah berkerikil. Ia langsung jatuh tidak sadarkan diri setelah kepalanya dihantam balok kayu besar. Sampai pipinya memerah tercetak bentuk kayu tersebut.

Altha benar-benar membuat partnernya itu jera. Ia kesal sekali karena menurutnya sedari tadi gadis itu tidak bisa diajak kerja sama. Laki-laki itu ganti melirik Tera yang perlahan mengambil oksigen dengan setengah kesusahan. "Masih hidup, 'kan?"

Belum sempat Tera berterima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, Altha menyambar lebih dahulu.

"Urusan kita belum selesai. Untuk sekarang, kamu boleh pergi."

***

Keesokan harinya, Tera bersekolah seperti biasa. Namun, ia lebih berhati-hati dengan cara berangkat sangat pagi dan pulang dengan sembunyi-sembunyi. Ia takut bertemu dengan dua orang gila yang kemarin.

Namun, belum sampai pulang sekolah, ia bertemu dengan dua orang itu yang ternyata berada di sekolah yang sama. Padahal Tera kira dua orang itu berbeda sekolah, mengingat warna seragam yang tidak sama.

"Kamu mau di kelas saja, Tera?" tanya Haiva, teman sebangkunya. "Oke, aku belikan kamu jajan, tapi nanti masuk klub drama, ya? Please." Gadis itu memelas sembari menyatukan kedua tangannya, bahkan sebelum Tera menjawab pertanyaannya yang pertama.

Saat ini sedang jam istirahat. Namun, sedari tadi Tera tidak berani keluar. Ia sudah ditandai oleh sepasang mata memerah yang menatapnya dari jendela belakang. Sekali ia keluar, bisa saja nyawanya melayang.

Ya, Rain berada di luar kelas sedang menatapnya tajam dengan penampilan seram. Rambutnya dikucir asal menimbulkan kesan berantakan. Tatapan pada bola mata hitam kelamnya seolah ingin menenggelamkan mangsanya ke dalam kegelapan.

"Tera! Kamu melamun saja!"

"Maaf. Terima kasih, Haiva, aku tidak lapar, kok. Kamu pergi saja." Tera memberi senyum tipis yang menandakan dirinya baik-baik saja. Padahal jauh di dalam hatinya, ia sedang ketakutan. Telapak tangannya terasa dingin saking ia takut dan trauma atas yang ia alami kemarin.

REFLECTION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang