BJK Revisi

2.7K 179 7
                                    

Irham berlari melalui lorong rumah sakit, diikuti oleh Ella dan juga Ghita. Nafasnya terengah-engah, wajahnya penuh kepanikan.

Anak satu-satunya kini berada di rumah sakit. Irham tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri, merasa gagal dalam menjaga Ayana dan melindunginya.

Tanpa disadari, air mata Irham mulai mengalir ketika melihat sang anak terbaring di antara kabel dan alat medis, dengan wajah pucat dan matanya tertutup rapat. Rasanya seperti ditimpa oleh ribuan beban yang berat di atasnya.

"AYANA!" pekik Irham sambil memasuki ruangan, langsung memeluk tubuh sang anak, menciumi wajah Ayana bertubi-tubi.

Irham beralih dan menatap mesin EKG, kemudian kembali menatap Ayana. Sedikit tidak percaya, anaknya kini benar-benar tak berdaya.

Dokter memasuki ruangan dan memberikan penjelasan tentang kondisi Ayana.

"Bapak dari pasien?" tanya dokter itu.

Irham mengangguk, "Iya, saya papinya."

Dokter itu mempersilahkan Irham untuk mengikuti ke ruang lain, di mana sang dokter menjelaskan apa yang terjadi pada Ayana.

"Begini, pasien mengalami kelumpuhan pada kakinya. Tidak permanen, hanya sementara."

"...Dan juga karena benturannya sangat keras, kami sudah melakukan CT scan untuk pemeriksaan secara menyeluruh."

...

Dua hari kemudian, Ayana sadar. Awalnya, ia tidak menerima kondisinya yang lumpuh, tapi berkat dukungan sang papi dan juga Gilang, membuatnya perlahan menerimanya.

Sudah dua hari ini Gilang selalu menemani Ayana. Gilang juga tidak bosan menceritakan apa saja yang dialaminya di sekolah.

"Lang, Ayana mau martabak," ujar Ayana menatap Gilang penuh harapan.

"Nanti, kalau sudah sembuh," jawab Gilang.

Ayana mencibir, "Lama, pasti."

Gilang mengelus kepala Ayana pelan, "Ya, sabar." Pengertian Gilang membuat Ayana membeku.

"Lepas, Lang, modus banget," ketus Ayana.

Gilang tertawa, "Kangen gue sama lo ya," ujar Gilang.

Ayana memutar bola matanya malas. Dari kemarin, Gilang selalu bertemu dengannya. Mengapa tiba-tiba bilang kangen? "Dari kemarin Aya disini, Gilang juga kan?" kesal Ayana.

"Aya, lo imut. Mau nikah sama gue nggak?"

...

Bel seorang menganggu aktivitas Gilang dan Ayana. Ella datang bersama Revan, membawa buah-buahan untuk Ayana. Ayana menyambut Ella dengan senyum tipisnya. Gilang berharap Revan tidak mengeluarkan kata-kata pedas bagi Ayana.

"Aya, gimana udah baikan?" tanya Ella saat sudah berada di samping Ayana.

Ayana mengangguk, "Maaf, Aya, Ella gak jenguk Aya dua hari ini. Soalnya kemarin Papi Irham sama Mama, abis tunangan," jawab Ella tanpa menghiraukan wajah terkejut Ayana.

"Maksudnya? Papi--???"

"Iya, Papi Aya bakal jadi Papi Ella juga," kata Ella. "Mama Ella bakal jadi Mama Aya juga."

Deg.

Seketika pasokan udara Ayana menipis, Ayana memukul dadanya menggunakan tangan yang masih diinfus. Gilang dengan segera menenangkan Ayana.

"Aya, berhenti ya," panik Ella dan Gilang bersamaan.

Revan hanya menatap Ella tanpa ekspresi. Ia datang karena Ella yang memaksanya, jika tidak, Revan akan memilih berdiam diri di rumah atau hanya pergi bersenang-senang.

Ayana menatap Ella tak percaya. "Ella bohong kan, Papi Aya..." tanpa menyelesaikan ucapannya, Ayana tidak sadar diri, membuat Gilang segera menekan tombol alarm di rumah sakit.

"Lo apa-apa sih, La!" marah Gilang saat mereka sudah berada di luar. "Lo tau kan papinya sendiri saja belum berani memberitahu Aya, dan lo..." Gilang menghela napasnya pelan. "Setidaknya lo jaga perasaan Aya."

Apakah Ella melakukan sesuatu yang salah? Apakah pertunangan Mama dan Papi Aya salah?

...

Di sebuah ruangan putih yang berkilauan, Ayana berada, menoleh ke kanan dan kiri, mencari objek yang nyata. Pada bangku tua, seorang wanita cantik melambaikan tangannya ke arah Ayana. Ayana mengukir senyumnya, lalu berlari menghampiri wanita itu.

"Mami..." panggil Ayana pada wanita itu.

Wanita itu mengenakan dress terakhir kali sebelum tiada, yaitu dress berwarna biru muda. Ayana menatap dengan rindu pada wanita itu, "Mami..." Ayana hanya mampu mengucapkan kata 'mami', lidahnya terasa kaku.

Wanita itu memeluk Ayana dengan penuh kasih sayang, seolah pelukan itu adalah pelukan yang penuh kerinduan. Ini seperti pelukan terakhir Ayana dari sang mami saat beliau masih ada.

"Aya, udah besar ya, udah jadi gadis yang cantik," kata wanita itu.

Ayana tersenyum lalu mengangguk, "Aya cantik kan, turunan mami," jawab Ayana.

Wanita itu mengelus puncak kepala Ayana, "Aya harus ikhlas, sayang..."

"Ikhlas apa, Mi?" tanya Ayana kebingungan.

"Tante Ghita... orang yang baik, sayang... Dia yang akan menggantikan posisi mami... untuk kamu dan untuk papi," wanita itu bicara dengan suara yang bergetar.

Jika bisa, ia ingin selalu berada di samping anak dan suaminya. Jika bisa, ia ingin menjadi saksi pertumbuhan putrinya.

"Mami... sudah... bahagia," ujar wanita itu. "Lihat kamu tertawa, suatu saat kita akan bersama-sama lagi, sayang."

"Kenapa tidak sekarang?" tanya Ayana.

"Belum waktunya..."

Dan tiba-tiba, Ayana terbangun dari tidurnya yang pulas.


BJK REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang