PROLOG

8.6K 420 17
                                    


"Pak Boby tidak perlu khawatir. Saya pasti tanggung jawab. Semua kerugian Bapak, akan saya bayar. Tapi dengan begitu, saya minta tolong sama Bapak, kita selesaikan semua ini secara kekeluargaan," ucap perempuan muda dengan sweater merah itu setenang mungkin. "Dan tentunya, tidak ada campur tangan polisi," imbuhnya.

Seorang pria paruh baya yang terkulai lemah di atas brankar itu berpikir sebentar. Ia memandang wajah perempuan muda dan putra yang ada di sebelahnya secara bergantian. "Baiklah, saya setuju. Tapi—dengan satu syarat."

"Apa itu, Pak? Katakan saja," jawab perempuan muda itu dengan percaya diri.

"Kamu harus mau menikah dengan putra saya," jawab Boby dengan suara melemah.

Putra Boby yang ada di sebelahnya tak ayal terkejut. Begitu pula dengan perempuan muda yang tak sengaja menabrak Boby tadi. "Bapak jangan macam-macam sama saya. Saya tidak bisa menikah dengan putra Bapak. Saya tidak kenal dengan dia," tolaknya dengan tegas.

Putra Boby juga mengangguk setuju, "Bener, Ayah. Ayah jangan mikir yang aneh-aneh. Ara nggak kenal sama dia. Ara nggak mau menikahi orang yang nggak Ara kenal."

Boby tidak mengindahkan ucapan putranya, dia kembali berbicara dengan perempuan muda bersweater merah. "Kalau kamu tidak setuju, saya akan segera urus semuanya melalui jalur hukum."

"Ayah..."

"Keputusan Ayah sudah bulat, Zahrain."

Pemuda bernama Zahrain atau biasa dipanggil Ara itu hanya bisa diam tak membantah. Selama ini, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang sangat mematuhi Ayahnya. Sebab ibunya sudah meninggal sejak ia masih kecil.

Ara selalu percaya dengan setiap keputusan yang Ayahnya ambil. Tapi untuk kali ini, ia benar-benar tidak mengerti. Kenapa Ayahnya itu tiba-tiba mengambil keputusan tanpa memberi kesempatan bagi dirinya untuk berpikir?

Belum sempat perempuan muda dengan sweater merah itu angkat bicara, seorang wanita paruh baya dengan tampilan modis tiba-tiba datang. Ia sedikit terkejut saat melihat ke arah Ara lalu bergumam, "Zahrain."

"Bu Shani," sahut Ara dengan suara lirih. Wanita dengan tampilan modis itu adalah pemilik cafe tempat dimana ia bekerja. Tepat satu minggu yang lalu, ia diterima bekerja karena telah menolong Shani dari seseorang yang berniat mencelakai wanita itu.

Perempuan muda yang tak lain anak dari Shani itu merasa bingung, "Mah, Mamah kok bisa kenal sama cowok ini?"

Boby yang seolah bisa memahami situasi ini segera mengambil kesempatan. Dengan suara yang sedikit terbata ia berucap, "Bu, saya janji tidak akan membawa anak Ibu ke polisi. Tapi, dia harus mau menikah dengan putra saya, Zahrain."

Shani tampak berpikir sebentar, memandang ke arah anak sulungnya dan Ara secara bergantian. Ia tampak menimang-nimang sesuatu sebelum akhirnya dengan tegas ia menjawab, "Saya setuju."

"Mah, Mamah apa-apaan, sih? Masak aku harus nikah sama dia? Aku kan nggak sengaja nabrak Pak Boby. Pokoknya aku nggak mau!" tolak perempuan muda itu dengan suara tinggi.

"Chika, kamu itu jadi orang harus bertanggung jawab dengan kesalahan yang sudah kamu perbuat."

"Chika bakal tanggung jawab dengan bayarin semua biaya pengobatan Pak Boby sampe sembuh, Mah," sanggah Chika yang tak lain perempuan muda dengan sweater merah itu. Ia tetap pada pendiriannya. Apa Mamanya ini sudah gila? Mana mungkin dirinya menikah dengan lelaki yang bahkan baru kali ini dia melihatnya.

"Nggak bisa. Kamu nggak denger apa yang Pak Boby minta? Kamu harus menikah dengan Zahrain!" tegas Shani dengan suara yang tak kalah tinggi.

"Bu Shani," tegur Ara bermaksud untuk menyudahi pembicaraan yang menurutnya tak masuk akal itu. Namun Shani balik menyentak dirinya, "Diam kamu, Zahrain. Saya sedang bicara dengan anak saya!"

Shani balik menatap ke arah anaknya. "Chika, pokoknya kamu harus menikah dengan Zahrain—sekarang juga!"

"Mamah nggak bisa gitu, dong. Anak perempuan kalo menikah harus ada wali nikahnya. Apa Mama lupa? Papa masih ada di luar negeri sekarang," dalih Chika merasa menang.

Shani terbungkam beberapa jenak. Detik selanjutnya ia menemukan satu ide, "Mama bakal telepon Papa dan minta persetujuannya untuk menjadikan Christian sebagai wali nikah kamu."

Sebenarnya Shani tidak tau, apakah cara ini diperbolehkan atau tidak. Namun mengingat tujuan utamanya menikahkan Chika dengan Zahrain, maka tidak ada cara lain yang bisa ia lakukan untuk mempercepat proses pernikahannya.

"Saya tidak setuju. Kalo saya harus menikahi Chika, maka yang menjadi wali nikahnya haruslah Ayahnya Chika," tolak Ara. Tentu ia sengaja memberi syarat seperti itu karena sejujurnya ia sendiri tidak bisa menikahi Chika. Sebab dalam waktu dekat, Ara sudah berencana untuk menikahi kekasih hatinya.

Suasana mendadak lebih tegang ketika tiba-tiba Boby merasakan sesak pada dadanya, "Ayah kenapa, Yah?" tanya Ara khawatir.

"Menikahlah de-ngan Chika, Nak. A-yah i-ngin me-lihat kamu me-nikah. Se-bab A-yah sudah ti-dak ku-at lagi," ucap Boby dengan nafas tersengal-sengal, selanjutnya ia pingsan.

Ara sangat panik. Ia menekan satu tombol yang berfungsi untuk memanggil salah satu petugas rumah sakit agar Ayahnya segera ditangani.

Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan persiapan yang sangat mendadak, acara pernikahan sederhana antara Ara dan Chika pun berlangsung di ruang rawat inap Boby yang sudah kembali sadar. Karena Ayah Chika tidak bisa hadir, maka yang menjadi wali dalam pernikahan itu adalah adiknya, Christian.

Tangan Christian dan Ara sudah saling menggenggam erat. Christian menatap orang asing di hadapannya dengan pandangan menyelidik. Melihat iris mata hitam Ara yang tegas, membuat ia teringat akan seorang lelaki yang sebelumnya hampir saja menikahi Chika.

Christian memejamkan matanya sejenak. Ia memantapkan hati sekaligus menaruh harap semoga lelaki di hadapannya ini bisa memberikan kebahagiaan untuk kakak perempuan yang sangat ia sayangi.

Bapak penghulu memberi isyarat agar Christian segera memulai ijabnya.

"Saudara Zahrain Andala Bin Boby Chaesar Andala, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari saya Yessica Tamara Harlan Binti Gracio Harlan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai."

Ara memberi jeda sejenak. Ia kembali memantapkan hati sekali lagi sebelum akhirnya menjawab, "Saya terima nikah dan kawinnya Yessica Tamara Harlan Binti Gracio Harlan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu pada dua orang saksi yang hadir.

"Sah."

"Alhamdulillah."

Kepala Ara langsung tertunduk. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba dirinya menangis. Tidak pernah terbayangkan bahwa ia akan menikah dengan perempuan yang tak pernah ia kenal sama sekali.

Namun karena sumpah di hadapan Tuhan telah terucap, maka sekeras apapun Ara menolak pernikahan ini, perempuan asing di sampingnya itu sudah resmi menjadi istrinya.

Perasaan haru itu tiba-tiba dipecah oleh suara bedside monitor yang terdengar memekakkan telinga. Tanda garis yang sedari tadi bergerak zig zag, kini berubah menjadi garis lurus.

"Ayah..."

***

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang