Part 8

3.6K 418 44
                                    

Chika masih ingat. Pagi itu, mungkin sekitar pukul enam di hari Sabtu. Perutnya terasa lapar karena seharian kemarin tidak berselera makan. Ia berjalan menuruni anak tangga. Sepi.

Pintu kamar yang ada di bawah dekat tangga itu masih tertutup rapat. Apa Zahrain udah berangkat ke kafe, ya? batinnya.

Rasanya tidak mungkin—mengingat ini masih terlalu pagi. Jam buka kafe untuk weekend juga sedikit lebih siang. Jadi tidak mungkin lelaki itu sudah pergi.

Sebenarnya Chika terlalu gengsi untuk turun dan meminta dibuatkan sarapan. Namun karena urusan perut adalah yang utama, dan obat dari rasa lapar adalah makan. Jadi ia memutuskan untuk turun dan berniat meminta dibuatkan sarapan pada ‘chef pribadinya’ itu.

Chika mengetuk pintu kamar Ara sedikit ragu. “Zahrain...” panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Chika kembali mengetuk. Kali ini sedikit lebih keras daripada sebelumnya. “Zahrain...”

Masih tidak ada jawaban.

“Zahrain, kamu udah berangkat?” tanya Chika sembari mengetuk pintu dengan suara ketukan jauh lebih keras.

Hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban.

Chika mendengus kasar. Matanya teralih pada gagang pintu dan mencoba untuk membuka, ternyata kamar itu tidak dikunci. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk saja.

Lampu kamar masih menyala, tapi ruangan itu kosong. Tak ada Ara di dalamnya. Pantas saja ia mengetuk pintu sampai tiga kali, namun tidak ada respon. Mungkin memang benar, lelaki itu sudah berangkat.

Chika tertunduk lesu untuk beberapa saat. Mungkinkah Ara masih marah karena kedatangan Mirza kemarin? Ia rasa tidak. Sebab semalam mereka berdua sudah bicara baik-baik. Harusnya, sih, sudah tidak ada masalah lagi. Tapi kenapa sekarang Ara sudah pergi tanpa meninggalkan masakan seperti sebelumnya?

Chika berniat keluar kamar dan memutuskan untuk membeli bubur saja. Namun di saat yang bersamaan ketika ia balik badan, tiba-tiba pintu kamar mandi dalam itu terbuka dan memunculkan sosok Ara yang bertelanjang dada.

Keduanya sama-sama melebarkan pandangan karena kaget. Spontan Chika berteriak sembari menutup matanya. Sementara Ara beristighfar lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Ka-kamu ngapain di sini, Ra?” tanya Ara sedikit panik. Ia berjalan cepat ke sisi tempat tidur untuk mengambil kaos putih lengan pendek dan bergegas memakainya.

Chika tidak menjawab. Ia masih sangat kaget dengan kemunculan Ara yang mendadak tanpa mengenakan baju. Seumur hidup, baru kali ini ia melihat seorang lelaki bertelanjang dada di depan matanya. Meski sebenarnya sah-sah saja, tapi Chika terlalu gugup dan merasa malu.

“Saya udah pake baju,” tegur Ara ketika mendapati Chika yang masih setia menutup kedua matanya.

“Zahrain, kamu kok nggak sopan banget, sih, nggak pake baju,” protes Chika saat ia telah membuka kedua matanya.

Ara menatap Chika dengan tatapan heran. “Memangnya kenapa?”

“Mata aku jadi tercemar!”

Mendengar jawaban Chika membuat Ara justru tertawa. Ia berniat untuk menggoda istrinya yang terlihat salah tingkah itu. “Cuma lihat bagian atas doang mah nggak masalah, Ra. Kamu belum lihat—”

“Zahrain, stop! Aku ngerti, ya, ke mana arah pembicaraan kamu,” tegas Chika. Berani-beraninya Ara membahas hal itu di depan dirinya pagi-pagi begini.

“Kenapa? Kita udah sah loh, Ra. Mau coba?” goda Ara sembari terkekeh pelan memainkan kedua alisnya naik turun.

“Zahrain!”

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang