Part 24

2.5K 356 76
                                    

"Sayang, ada rencana mau makan apa?" Ara bertanya pada Chika yang sedari tadi masih sibuk dengan pekerjaannya.

Chika mengambil jeda sejenak. Ia menyandarkan punggungnya yang terasa pegal. Melepas kacamata lantas berkedip beberapa kali lantaran matanya terasa perih.

"Kerjaannya nggak bisa dilanjut besok, apa? Kasian mata kamu," kata Ara, prihatin.

"Rencananya pengen aku kebut sekarang biar besok-besok nggak kepikiran lagi." Chika memakai kacamatanya dan bersiap untuk kembali mengetik.

"Masih banyak kah? Mau aku bantu ketik?" tawar Ara. Ia pindah posisi, mendekat pada istrinya itu.

"Nggak usah." Chika menggeleng. "Untuk yang hari ini tinggal dikit lagi kok."

"Yaudah. Aku temenin, ya? Atau mau aku bikinin cokelat anget biar badan kamu lebih enakan?"

Mungkin Ara memang buta dalam urusan kantor. Jangankan menerima posisi menjadi sekretaris pribadi Chika, bahkan terbesit untuk bekerja dalam sebuah perusahaan dibalik gedung bertingkat pun tak pernah ia bayangkan.

Setelah mengenal Fiony, pekerjaan yang Ara impikan sangat sederhana. Ia ingin menjadi seorang juru masak yang bisa memasak makanan enak di dapur dan menyajikan banyak menu berbeda untuk Fiony. Itu sebabnya kenapa mereka berdua memiliki impian membuka restoran.

Berbekal konsep kesederhanaan yang orang tuanya tanamkan sejak kecil, Ara tidak pernah mengejar materi atau kehormatan. Yang penting, pekerjaan tersebut bisa membuat dirinya nyaman. Karena dengan begitu, rasa syukur dan perasaan puas akan sangat mudah ia dapatkan.

Meski Ara tidak bisa memberikan bantuan untuk masalah kantor, setidaknya ia bisa membantu untuk memastikan agar mood Chika tetap terjaga. Membuatkan makanan dan minuman kesukaan perempuan itu, misalnya.

Chika menggeleng sebagai jawaban. Ia menatap Ara yang ada di sebelahnya dan berkata, "Aku pengen mie instan, deh, Ra. Tolong buatin mie instan aja boleh, nggak? Tadi aku cek di dapur, ada beberapa bungkus di sana."

"Kenapa tiba-tiba pengen mie instan dah?" Ara hanya bisa terkekeh heran saat mendapati Chika yang jarang makan mie instan, mendadak minta dibuatkan.

"Ya nggak apa-apa sekalian makan malem. Bisa 'kan?" tanya Chika, penuh harap.

"Anything for you, Tamara." Ara tersenyum seraya mengelus pelan telapak tangan Chika. "Kalo gitu kamu tunggu sini, ya? Biar aku buatin dulu."

Chika mengangguk pelan dan membalas senyuman Ara. Namun tepat ketika lelaki itu hendak beranjak, tiba-tiba ia kepikiran sesuatu. Diraihnya telapak tangan Ara dan berkata, "Nggak jadi, deh."

Ara menoleh dengan kedua alisnya yang saling bertaut seolah meminta penjelasan.

"Nggak jadi dibikinin kamu maksudnya. Kita masak bareng-bareng?"

"Aku bikin sendiri nggak apa-apa kok. Janji nggak akan lama. Kamu selesaiin kerjaan kamu dulu aja," tolak Ara. Ia tau bahwa sekarang Chika sudah lebih peka dibanding sebelumnya.

Untuk beberapa kesempatan, Chika memang sudah sadar akan posisinya sebagai istri yang tugasnya melayani, bukan dilayani. Jadi perempuan itu merasa tidak enak jika dirinya yang harus mengurus banyak hal.

Namun seperti yang Ara katakan berulang kali, ia sama sekali tidak masalah jika harus melayani semua kebutuhan Chika.

"Terserah, deh. Jadi cowok kok nggak ada romantis-romantisnya," gerutu Chika dengan suara lirih. Ia melepas tangan Ara dan kembali beralih menatap laptop di hadapannya.

Sedangkan Ara yang masih merasa tidak paham, mencoba untuk mencerna. Beberapa detik setelahnya ia tersenyum. Inti dari permintaan Chika bukan terletak pada jenis makanan yang diminta, tapi lebih kepada waktu untuk mereka berdua agar bisa lebih dekat.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang