Part 1

4.4K 404 40
                                    


Bola matanya bergerak perlahan dari kiri ke kanan kala meneliti deretan kata yang tercetak pada selembaran kertas putih di hadapannya. Di bagian tengah kertas itu tertulis judul Curriculum Vitae—disusul dengan foto identitas di sudut kanan atas dan beberapa informasi pribadi sang pelamar.

Dahinya berkerut, begitu juga dengan alisnya yang bertaut. Kata sebagian besar orang, cantik itu relatif. Jadi ia sedikit bingung ketika harus menyeleksi calon karyawan perempuan yang dinilai cukup bagus untuk menarik para pelanggan. Sebenarnya dia kurang setuju dengan seleksi yang dilakukan atas dasar visual. Harusnya yang dinilai itu sikap profesionalitas dan bagaimana semangat orang tersebut ketika bekerja.

Namun karena dia ingin menjadi atasan yang bisa mendengarkan usulan dari bawahannya, maka ia memutuskan untuk membuka seleksi karyawan baru—khusus perempuan. Dia masih ingat betul, salah satu bawahannya yang bernama Aldo pernah memberi usulan, "Kalau Pak Bos rekrut karyawan perempuan, dijamin kafe kita bakal rame, Pak. Apalagi kalo karyawan perempuannya itu cakep."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"

"Jelas yakin, Pak. Rata-rata pengunjung kafe kita kan anak muda tuh. Biasanya anak muda jaman sekarang nggak bisa lepas dari yang namanya sosial media. Kalo kita punya pelayan yang cakep, siapa tau ada pelanggan yang iseng ambil foto terus mereka upload ke sosial media dan viewersnya pada kepo nanyain kafe kita," jawab Aldo memberikan penjelasan atas usulan yang menurutnya sangat menarik dan layak untuk dipertimbangkan.

Seorang atasan bernama Zahrain itu hampir saja menyetujui usulan karyawan dekatnya. Namun ia masih merasa ragu dan bertanya, "Kalo gitu, berarti kita sama aja kayak mucikari atau germo?"

Aldo otomatis tertawa keras. Sungguh. Ia tidak percaya jika dirinya harus memiliki bos yang begitu polos seperti Zahrain. Ia merasa berdosa telah memberikan usulan yang maksudnya jelas ditangkap berbeda oleh lelaki itu.

"Kenapa ketawa? Bener 'kan? Dengan memanfaatkan paras wajah para karyawan perempuan, berarti sama aja kita mengeksploitasi mereka," sanggah Ara yang masih merasa tidak paham dengan alur pikir bawahannya itu.

Aldo menghentikan tawanya. Ia mengatur nafas sejenak. "Maaf, Pak. Maksud saya bukan begitu. Tentu saja apa yang kita lakukan tidak sama dengan mucikari atau germo yang Pak Zahrain maksud. Kalo tujuan mereka kan jelas, maaf, menjual harga diri si perempuan. Sedangkan kita menjual makan dan minum melalui jasa perempuan itu."

Ara semakin mengerutkan kening dan menatap Aldo dengan tatapan bingung. Sementara Aldo sekuat tenaga menahan agar tawanya tidak lepas seperti tadi. Walau bagaimanapun, seorang lelaki polos di hadapannya itu adalah atasannya yang sangat baik hati.

"Pada intinya, insyaallah amanlah, Pak. Toh tujuan kita juga baik 'kan? Lagipula apa Pak Zahrain nggak bosen, tiap hari liat saya, Sholeh dan Devan terus? Pelanggan kita juga bosen kali, Pak, liat kami bertiga. Saya jamin, mereka pasti butuh sesuatu yang menyegarkan pandangan mata," kekeh Aldo. Ia masih terus berusaha membujuk atasannya yang tampak serius mempertimbangkan usulannya.

...

Sudah tiga puluh menit berlalu. Dari sepuluh berkas yang masuk, ada empat berkas yang lolos seleksi. Rencananya Ara akan melakukan wawancara terhadap calon karyawan perempuan itu besok lusa. Ia segera menghubungi keempat orang tersebut menggunakan email khusus kafe.

Berbicara mengenai kafe yang Ara urus saat ini, bisa dibilang cukup luas untuk ukuran kafe yang ada di daerah Jakarta. Jika kafe itu kebetulan penuh, mungkin bisa diisi tiga puluh orang di bagian bawah dan lima belas orang di bagian atas, maksimalnya. Ditambah enam bangku di bagian luar bagi mereka yang ingin merokok.

Kafe tongkrongan anak muda ini bukan milik Ara, melainkan milik Shani—ibu dari istri sahnya. Namun karena sekarang Ara sudah menikah dengan Chika dan dulu sempat bekerja sebagai koki, Shani mempercayakan kafe itu sepenuhnya pada Ara. Sementara Shani sendiri sibuk mengurus butik.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang