Part 5

3.4K 415 82
                                    

Tatapannya kosong. Ujung jari telunjuknya sibuk berputar-putar di atas gelas berisi kopi yang sudah tinggal setengah. Membiarkan kopi itu mulai dingin karena sang puan telah merasa bosan.

Sudah tiga hari ini ia kehilangan semangat.

Ada perasaan dilematis yang kini ia rasakan. Bingung. Langkah apa yang sebaiknya ia lakukan ketika sosok perempuan yang selalu ia nantikan kedatangannya itu pulang.

Kecewa? Tentu. Sakit hati? Jangan ditanya.

Bagaimana bisa perempuan itu lebih memilih untuk pergi bersama lelaki lain di saat ada dirinya yang lebih dekat? Apa dirinya benar-benar tidak berguna sama sekali bagi perempuan itu?

Hah. Hembusan nafasnya terdengar sangat berat. Sudah tiga hari ini ia tidak berselera makan, tidur pun tidak nyenyak. Hingga tampaklah dengan jelas matanya yang berkantung seperti mata panda.

"Pak Bos, kami sudah selesai beres-beres." Aldo melapor setelah ia dan keempat temannya itu menyelesaikan tugas. Namun tak ada respon dari seseorang yang sepertinya sudah sangat larut dengan lamunannya.

"Tepok pundaknya biar sadar," usul Sholeh.

"Nggak sopan weh," elak Muthe.

"Terus gimana? Gue harus buru-buru pulang nih. Mau jemput Neng Cindy," balas Sholeh terlihat tak sabar.

"Nggak apa-apa. Tepuk aja pundaknya pelan-pelan," sahut Indah diikuti oleh anggukan kepala dari Devan.

Sejujurnya Aldo merasa prihatin dengan kondisi Ara. Namun bosnya itu tidak mau bercerita apapun. Ia mengambil nafas sejenak lalu menepuk pelan pundak Ara beberapa kali sesuai arahan Indah. "Bos.."

Berhasil. Ara tersadar dari lamunannya dan langsung menoleh pada kelima karyawannya yang sudah bersiap untuk pulang. Ternyata, cukup lama sekali ia melamun.

"Eh, kalian sudah selesai beres-beres?" Ara bertanya saat melihat kondisi kafenya sudah sepi dan rapi. Kursi-kursi disimpan di bawah meja, gelas dan piring ditata rapi pada rak, begitu juga dengan mesin-mesin yang digunakan selama bekerja—telah dimatikan dengan sempurna.

"Sudah, Bos. Kami mau izin pulang," kata Aldo mewakili teman-temannya seperti biasa.

"Oh, ya, silakan. Terima kasih banyak untuk kerja kerasnya hari ini. Selamat istirahat," kata Ara.

"Terima kasih kembali. Pak Bos jangan lupa istirahat juga," pesan Aldo.

Kelima karyawannya itu pulang bersama kecuali Sholeh karena lelaki itu membawa motor sendiri. Biasanya mereka berempat akan pulang mengantar Muthe terlebih dulu yang alamat kosnya tidak jauh dari kafe. Setelah itu Aldo, Devan dan Indah akan melanjutkan perjalanan menuju halte busway terdekat. Beruntung arah pulang Devan dan Indah, sama. Sehingga Indah tidak perlu khawatir jika harus pulang malam.

Di saat semua karyawannya sudah pulang, Ara masih betah berdiam diri di kafe. Ia merasa sangat malas untuk pulang ke rumah. Sebab malam ini harusnya Chika sudah pulang.

Selama Chika pergi ke Bandung, Ara memutuskan untuk melakukan aksi diam. Ia mencoba untuk tidak menghubungi Chika sama sekali. Tidak bertanya bagaimana kabarnya, apa yang sedang dilakukan, sudah makan atau belum, dan sederet pertanyaan sederhana yang seharusnya ditanyakan oleh sepasang suami istri ketika sedang berpisah tempat.

Ara sengaja melakukan itu karena ia ingin mengerti, apakah ada inisiatif dari Chika untuk menghubungi terlebih dulu?

Namun ternyata nihil.

Sampai detik ini Ara bernafas dan menanti, tak ada satupun pesan masuk dari Chika setelah perempuan itu mengatakan akan pergi ke Bandung bersama Mirza. Itu sebabnya kenapa Ara terlihat seperti orang stres dan linglung selama tiga hari terakhir.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang