Part 38

1.7K 275 54
                                    

Di balik kemudi itu, pandangan matanya beberapa kali ia bagi antara jalanan dengan ponsel. Berharap ada pesan masuk dari seseorang yang memenuhi pikirannya sejak beberapa menit lalu.

“Kak Zee, Ce Fio sempat henti nafas.”

Itu adalah sepenggal kalimat yang berhasil membuat Zee seolah ikut mengalami henti nafas. Harusnya, malam ini juga ia meluncur ke Bandung untuk mengikuti rapat penting. Namun yang terjadi sekarang, Zee langsung mengarahkan mobil alphardnya menuju salah satu rumah sakit yang ada di kawasan Jakarta Pusat.

Jantungnya berdebar. Ia takut. Sangat takut.

Zee takut jika dirinya terlambat. Zee takut jika dirinya tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa memberikan semua kasih sayang yang ia miliki kepada seseorang yang ia cintai.

Cukup sekali saja Zee merasa bodoh karena dirinya terlalu lambat untuk datang. Cukup sekali saja Zee merutuki diri sendiri karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk menjaga seseorang yang dicintainya.

Dan cukup sekali saja Zee merasa kehilangan.

Zee tidak ingin kehilangan Fiony sama seperti dirinya kehilangan seorang perempuan yang teramat ia cintai sebelum perempuan itu.

Hatinya gelisah. Perasaannya gundah. Saat sedang buru-buru seperti ini, yang Zee inginkan hanyalah menginjak pedal gas lebih dalam. Entah berapa kali tangan kekarnya menekan klakson mobil lantaran tak sabar menghadapi kemacetan yang terjadi ketika jam pulang kerja.

Bermenit-menit ia mendumal sendiri sepanjang jalan lantaran banyaknya lampu merah yang harus ia lewati. Sesekali Zee gunakan kesempatan itu untuk menelepon seseorang. Namun sayang, bahkan saat rodanya hampir melintasi pelataran rumah sakit, tak ada respon apapun dari seberang sana.

“129...127...125...”

Zee mempercepat langkah kakinya ketika menyusuri lorong rumah sakit yang cukup lengang. Matanya menatap tajam pada setiap nomor yang tertera pada pintu kamar inap. Memastikan bahwa ia tidak salah kamar.

Tok tok tok

“Fio?” panggilnya sambil mengetuk pintu beberapa kali.

Cukup lama Zee menunggu. Namun pintu kamar inap berwarna putih itu tak kunjung terbuka. Ia semakin berdebar, takut terjadi apa-apa dengan Fio di dalam sana.

Mungkinkah Zee salah kamar? Rasanya tidak. Ia sudah sangat yakin bahwa kamar inap yang ada di hadapannya saat ini memanglah tempat dimana Fiony dirawat.

Tak ingin dilanda rasa khawatir dan penasaran yang sudah di puncak, Zee langsung membuka pintu kamar inap tersebut. Bukannya merasa lega, Zee justru semakin cemas saat mendengar sebuah isak tangis.

Isak tangis yang beberapa waktu terakhir sering menghampiri gendang telinga Zee. Isak tangis yang seolah-olah membuat Zee merasakan luka yang sama.

“Fio..” Zee berjalan mendekat pada Fiony yang menenggelamkan wajahnya pada tekukan lutut.

Dibanding bertanya penyebab gadis itu menangis, Zee memilih untuk langsung memasukkan tubuh Fiony dalam dekapannya. Zee usap pelan punggung yang ringkih itu.

Bukannya merasa tenang, tangis Fiony semakin pecah. Ia membalas dekapan Zee yang terasa begitu hangat. Fiony suka cara Zee mendekapnya. Fiony suka cara Zee ketika menenangkan dirinya. Dan lagi, Fiony suka sikap Zee yang tidak banyak bertanya saat perasaannya sedang kacau.

Zee hanya diam. Ia membiarkan Fiony meluapkan semua rasa sakit yang perempuan itu rasakan. Ia membiarkan Fiony mencari ketenangan dalam dekapannya yang tak pernah tertolak.

“Dia pergi, Kak.” Akhirnya Fiony angkat suara terlebih dulu setelah perasaannya sudah cukup tenang.

Zee paham sosok dia yang Fiony maksud. Tadi, ketika Freya memberi kabar bahwa Fiony masuk rumah sakit, Freya juga memberi kabar bahwa Ara datang. Ara datang dan menemani Fiony hingga perempuan itu sadar.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang