Sejak insiden riwayat pencarian waktu itu, rasanya Chika ingin menghilang.
Dia malu. Bahkan sangat malu.
Chika tak habis pikir, apa Christian memiliki dendam pribadi hingga tega memperlakukan dirinya seperti itu di depan umum? Tidak bisakah anak lelaki itu menahan diri untuk tutup mulut dan mengejeknya ketika sedang berdua saja?
Rasa malu terbesarnya bukan ketika Christian membacakan riwayat pencarian itu dengan suara nyaring. Bukan pula ketika Papa dan Mamanya ikut melontarkan berbagai kalimat godaan. Bukan.
Ia sudah kebal dengan pembullyan yang dilakukan oleh ketiga orang tercintanya itu.
Satu hal yang membuat Chika merasa sangat malu adalah—seuntai senyum yang Ara tunjukkan dengan kepala tertunduk. Pasti lelaki itu besar kepala dan merasa menang.
Namun—bukan Yessica Tamara namanya jika ia tidak bisa mengelak.
Chika berdalih dan mengatakan bahwa ponselnya itu habis dipinjam oleh rekan kerjanya yang sedang uring-uringan dengan suaminya. Perihal dirinya yang tidak setuju dengan rekrutmen karyawan baru—semua itu murni karena dirinya tidak suka saja. Tak ada alasan lain, katanya.
Bahkan agar keluarganya tidak merasa curiga, Chika mempersilahkan Ara untuk menguji coba Muthe dan Indah selama yang suaminya itu butuhkan. Namun ternyata, Tuhan sedang berpihak pada Ara.
Muthe dan Indah lolos uji coba bekerja di kafe itu selama dua pekan.
Entah pelet apa yang digunakan oleh dua perempuan itu. Padahal Chika sudah beberapa kali mengirim seseorang untuk berbuat kekacauan di kafe. Namun keduanya mampu mengatasi dengan baik.
Jika sudah begini, apa Chika benar-benar merasakan yang namanya cemburu? Ia tidak mengerti.
"Ra, kamu lagi ngapain? Makanannya udah saya siapin di meja, ya?" Suara itu mematahkan keheningan Chika yang semula sedang sibuk mematutkan diri di depan cermin. Setelah mengganti pakaian beberapa kali, akhirnya ia menemukan pakaian yang pas setelah melalui lima kali percobaan.
Chika heran. Tidak biasanya dia ganti baju sampai sebanyak itu, hanya untuk pergi ke pasar pula. Ini kali pertama dirinya akan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan dapur. Ya—berbelanja. Sebab ia tidak pernah berbelanja sebelumnya.
Jadi—sudah bisa ditebak, kan, akan pergi bersama siapa dia sebentar lagi?
Chika membuka pintu ruang ganti dan berjalan turun menyusuri anak tangga menuju meja makan. Tak ada Ara di sana. Ia menoleh ke arah sofa dan mendapati Ara yang sedang memainkan ponselnya.
"Kok belum makan?" tanya Chika basa-basi. Tak lebih dari sebuah formalitas.
Ketika menyadari keberadaan Chika yang sudah berdiri di dekat meja makan, Ara menyimpan ponselnya di atas meja kecil yang ada di sebelah kanan sofa kemudian berjalan menghampiri. Selalu. Ia tidak ingin melewatkan waktu barang sedetikpun ketika sedang bersama Chika.
"Saya nunggu kamu," jawab Ara. Detik selanjutnya ia sedikit memperhatikan pakaian Chika dari ujung atas hingga ujung bawah. Ingin tertawa, namun ditahannya.
"Kenapa ngeliatinnya sampe kaya gitu?" Chika bertanya dengan nada sewot seperti biasa. Ia tidak suka ditatap intens selayaknya yang Ara lakukan. Seolah ada yang salah dari pakaian yang ia kenakan sekarang.
"Hari ini kita cuma pergi ke pasar aja 'kan? Atau kamu mau ketemu sama seseorang setelah belanja?" tanya Ara memastikan. Jujur, pakaian yang Chika kenakan sedikit aneh di matanya. Seperti pakaian kantor, namun tidak terlalu formal. Sebab Chika tidak mengenakan jas seperti biasanya ketika berangkat ke kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANAH
RomanceCerita ini kudedikasikan untuk Teh Ica dan Mang Ara yang cuma dapet scene tatap-tatapan doang, nyapa kagak😕😭 Nggak ada sinopsis. Kalo penasaran, langsung baca aja ceritanya. Thank you❤ tamaraseo_