Part 30

2.6K 342 48
                                    

"Aku pengen ngomong serius sama kamu."

Chika memicingkan mata. "Mau ngomong soal apa?"

"Soal kita. Tapi bentar, deh. Aku cuci piring dulu, ya." Ara segera bangkit dan hendak membawa tumpukan piring bekas miliknya dan milik Chika ke wastafel.

"Eh, nggak usah. Kamu duduk aja. Biar aku yang cuci," kata Chika mengambil alih piring-piring tersebut.

Ara tersenyum penuh arti. Ia merasa terharu dan sangat bahagia dengan perubahan sikap Chika. Sebagai hadiahnya ia langsung mengecup bibir Chika lantas berkata, "Makasih, ya, Sayang. Kalo gitu aku ambil catatan dulu di kamar."

Chika masih sempat terpaku untuk beberapa saat. Setelahnya ia tersenyum manis menatap punggung Ara yang perlahan menghilang di balik tangga. Tiba-tiba saja setetes air matanya mengalir. Selalu ada yang menghangat dalam dirinya setiap kali lelaki itu bersikap manis kepadanya.

Tepat ketika Ara kembali ke meja makan, Chika juga telah menyelesaikan tugas mencuci segala peralatan memasak yang digunakan sebelumnya.

"Udah siap?" tanya Ara memastikan.

"Eh? Siap apa, nih? Kok aku jadi deg-degan." Chika tidak berbohong ketika mengatakan itu. Dadanya berdegup kencang. Perasaannya pun menjadi was-was.

"Jadi gini.. Dulu, tuh, Ayah pernah pesen sesuatu sama aku. Karena aku laki-laki dan bakal jadi kepala rumah tangga, Ayah berpesan agar aku ngobrolin semacam kesepakatan gitu sama perempuan yang bakal aku nikahin."

"Bentar bentar. Maksudnya kesepakatan gimana? Kita kan nggak nikah kontrak, ngapain pake kesepakatan segala?"

"Nggak gitu konsepnya, Tamara. Jadi kesepakatan itu dibuat untuk meyakinkan diri aja sebelum laki-laki sama perempuan menikah. Kamu tau 'kan? Menikah itu nggak segampang yang kita kira. Banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dipertimbangkan sebelum kita bener-bener yakin sama orang yang bakal kita nikahi itu. Berhubung dulu kita married by accident, tapi aku rasa—kesepakatan itu masih relate buat kita obrolin sekarang. Karena jujur, selama kita di sini, kita kaya pasangan baru nikah. Kamu ngerasa gitu juga, nggak?"

Chika mengangguk pelan. Semenjak mereka berlibur di Bali, Chika dan Ara berusaha untuk semakin dekat. Bahkan Chika yang biasanya sering uring-uringan ketika datang bulan pun kini sudah lebih bisa mengontrol dirinya untuk tidak marah-marah. Penyebabnya jelas, ia bisa mengawasi Ara 24 jam tanpa perlu merasa curiga.

"Maka dari itu, aku pengen kita mengulang semuanya dari awal. Kita jalani pernikahan ini bukan karena desakan Mama kamu atau sekedar menjalankan amanah Ayah aku, tapi karena perasaan kita sendiri yang sama-sama cinta, sama-sama sayang dan sama-sama saling membutuhkan."

"Oke.. Terus apa yang perlu kita bahas sekarang?"

Ara memberikan satu buku catatan yang ia dapat saat seminar kemarin kepada Chika. "Eh? Buat apa, nih?"

"Semua yang bakal kita bahas sekarang—perlu kita tulis."

"Ya ampun. Zaman udah canggih, Ara. Kenapa nggak dicatet di HP atau direkam gitu?"

Ara tersenyum. "Kalo dicatet atau direkam di HP, kan, bisa ilang misal terjadi sesuatu sama HPnya."

"Ya terus kamu pikir catetannya nggak bisa ilang?" sanggah Chika tidak mau kalah.

"Justru itu—catetannya jangan sampe ilang. Harus bisa dijaga dengan baik. Udah, jangan protes. Aku mulai, ya?"

Chika mengangguk pelan. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba untuk serius mengikuti.

"Pertama, harapan. Apa yang kamu harapkan dari aku sebagai suami kamu? Mungkin ada sesuatu dari aku yang kemarin-kemarin nggak sesuai sama kriteria suami impian kamu, sampein aja."

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang