Helaan nafas yang keluar dari kedua belah bibir tipisnya itu terasa berat. Matanya yang terlihat sayu tiada henti menatap ponsel dalam genggaman tangannya. Seorang perempuan dengan dress putih terlihat sangat anggun dan manis ketika perempuan itu tersenyum.
Ibu jemarinya bergerak menggeser slide kedua. Tampak seorang lelaki dengan penampilan gagah bergandengan tangan dengan si perempuan. Senyum bahagia menghiasi keduanya. Harusnya ia yang ada di sana, bukan lelaki asing itu.
"Sholeh, ini pesanan meja nomor lima, ya.” Aldo meletakkan selembar kertas berisi catatan pesanan di atas meja. Namun sang lawan bicara tidak memberi respon apapun.
Aldo mengintip ponsel Sholeh dan memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh lelaki itu. Ia mengangguk-angguk paham. "Pantes kaga konsen. Lagi liatin foto mantan yang habis tunangan, ya?”
Suara Aldo yang terdengar sedikit kencang mampu membuat Sholeh tersadar dari lamunannya. Ia tertangkap basah kala melihat foto Cindy yang memposting foto pertunangannya di instagram.
“Gue masih suka nggak nyangka aja, Do, hubungan gue sama Neng Cindy harus kandas gitu aja.”
“Sebenernya ada apa, sih? Kok lo bisa putus gitu? Padahal, kan, lu bucin banget.”
“Dia dijodohin. Bokapnya Neng Cindy itu punya utang sama bokapnya si laki-laki itu.”
“Hadeh. Kok kaya jaman Siti Nurbaya aja, ya, pake dijodohin segala,” komentar Aldo. “Terus gimana? Kalo lu nggak pengen Cindy jatuh di tangan laki-laki itu lo harus ngebebasin dia dari hutang-hutangnya ‘kan?”
“Nah, itu dia. Gue udah—” Sholeh langsung terdiam, tidak melanjutkan ucapannya.
“Udah kenapa?”
“Nggak. Nggak jadi.”
“Dih, kenapa, sih? Kaya bocah aja lo main tarik ulur kalo ngomong. Udah bagus lah Cindy lepas dari cowok labil kayak elu,” ejek Aldo.
Sholeh menatap Aldo sinis, tidak berniat untuk menanggapi ejekan lelaki itu. Ia berdiri, mengambil catatan pesanan dan berlalu pergi.
Mungkin bagi Aldo, Sholeh adalah teman lelaki yang sangat pas dijadikan sasaran untuk lelucon. Anak lelaki itu jarang sekali terlihat marah atau tersinggung ketika diejek. Namun Aldo lupa, jika Sholeh sudah terlihat serius dan tidak mood diajak bercanda, sikapnya benar-benar mengerikan.
“Sholeh, gue minta maaf deh kalo candaan gue barusan kelewat batas.” Aldo berjalan di belakang Sholeh, berusaha membujuk.
“Santai aja. Lagian Neng Cindy masih belum nikah ‘kan? Dia masih tunangan,” respon Sholeh. Ada keseriusan dalam nada bicaranya.
“Eh? Maksud lo gimana? Jangan bilang kalo lu mau menganut prinsip selama janur kuning belum—”
“Bendera kuning, bukan janur kuning.” Sholeh menatap Aldo tajam. Sedangkan Aldo yang ditatap seperti itu bergidik ngeri. “Gila, ya, lu? Lu mau ngejar Cindy sampe jadi janda?”
Sholeh tak menanggapi lagi. Ia berlalu lantas meneruskan pekerjaannya yang sempat terpecah karena terus menerus memikirkan Cindy yang sudah melangsungkan acara pertunangan. Mungkinkah perjuangannya harus terhenti sampai di sini saja?
...
Malam harinya, seorang lelaki menyajikan secangkir teh untuk ibunya yang sedang duduk santai sambil bermain ponsel.
“Dzan, tadi ada yang anter undangan. Bunda taruh di meja kamar kamu. Udah dibaca belum?”
“Belum. Emangnya dari siapa, Bun?”
“Mantan kamu. Cindy.”
Lelaki itu yang tak lain adalah Sholeh hanya bisa kembali menghela nafas pelan. Ternyata Cindy sungguh tidak main-main dengan ucapannya. Cindy memilih pasrah pada takdirnya dan bersedia menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah perempuan itu kenal sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANAH
RomanceCerita ini kudedikasikan untuk Teh Ica dan Mang Ara yang cuma dapet scene tatap-tatapan doang, nyapa kagak😕😭 Nggak ada sinopsis. Kalo penasaran, langsung baca aja ceritanya. Thank you❤ tamaraseo_