Part 13

2.9K 408 65
                                    

Ara membuka pintu kamarnya yang terletak di bawah dekat tangga. Bola matanya dapat menangkap keberadaan sang istri yang tengah sibuk berkutat dengan benda persegi empat pipih dengan kacamata bulat besar yang bertengger di atas hidung bangirnya. Bahkan perempuan itu tidak menyadari keberadaan Ara yang sudah terlihat rapi dan siap untuk pergi.

"Serius banget, sih." Ara memecah keheningan lantas menarik kursi dan duduk di sebelah Chika.

Chika menoleh. Ia sedikit menurunkan kacamata, menatap pakaian suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki yang sudah tampak rapi dan wangi. "Mau ke mana?"

"Ke Tangerang Selatan. Ikut seminar," jawab Ara.

Alis Chika bertaut. Ia kembali membetulkan letak kacamatanya. "Kok nggak ngomong dari kemarin?"

"Aku udah ngomong, ya. Kamunya aja yang lupa." Ara mencubit hidung Chika, merasa gemas. Apakah istrinya itu mulai pikun?

"Kapan? Kok aku nggak inget?" tanya Chika saat tangan Ara sudah terlepas dari hidungnya.

"Kemarin. Waktu kita habis belanja di supermarket."

Chika betul-betul tidak ingat jika Ara mengatakan bahwa lelaki itu akan pergi seminar di hari minggu. Padahal Chika sudah berencana untuk minta dibuatkan sup ayam kesukaannya. Ia memanyunkan bibir, sedih. "Yah, aku sendirian di rumah dong?"

Ara mengangguk pelan. "Atau kamu mau ikut?"

"Nggak." Chika langsung menolak. "Ada laporan yang harus aku kerjakan hari ini juga."

Ara tersenyum tipis. Ia meraih telapak tangan kanan Chika, mengelus pelan lalu menggenggamnya. "Jangan terlalu capek, ya, Ra. Tubuh kamu juga punya hak buat istirahat. Aku nggak mau kamu sakit."

Chika merasa terenyuh mendengar penuturan Ara. Lelaki itu melanjutkan, "Soalnya kalo kamu sakit, pasti nggak ada yang ngomelin aku lagi."

Mendengar kalimat lanjutan dari Ara membuat Chika menghempaskan tangan suaminya itu. "Padahal aku udah melayang, lho, gara-gara kamu perhatian banget. Ujung-ujungnya malah dihempas."

Ara sedikit terkekeh. Ia kembali meraih kedua tangan Chika hingga membuat sang empunya memutar badan ke arahnya. "Aku serius, Ra. Kamu jangan terlalu capek, ya. Kalo kamu sakit, aku jadi cemas dan khawatir. Aku juga ngerasa gagal jagain kamu."

Hati Chika tersentuh. Sangat tersentuh. Setiap perhatian yang Ara berikan, rasanya benar-benar ingin membuatnya menangis.

Tuhan begitu baik, bukan? Dia mengirimkan seorang Ara dalam menggantikan posisi Vion untuk menjaga dirinya.

"Makasih, ya, Ara." Chika balik membalas genggaman tangan Ara. Ia menatap manik mata hitam suaminya yang selalu memancarkan aura ketulusan. "Makasih karena udah selalu ada dan selalu jagain aku dengan baik," imbuhnya tersenyum.

Ara juga ikut mengembangkan senyum lebar sebagai jawaban. "Jadi, aku boleh pergi 'kan?"

Chika tertegun. Selanjutnya ia kembali menghempas tangan Ara, memutar bola mata malas. "Ternyata cuma modus," komentarnya.

Ara terkekeh. "Minggu depan kita jalan, deh. Aku bakal anterin kamu ke mana pun kamu mau."

"Cuma dianterin?"

"Ditemenin." Ara meralat jawabannya.

"Yaudah. Sana berangkat, gih. Ntar malah telat," perintah Chika ketika melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat. Bisa ia tebak, acara seminarnya itu setelah Dzuhur. Makanya Ara bersiap untuk berangkat sekarang agar tidak terlambat.

"Iya. Ini mau berangkat. Kamu hati-hati, ya, di rumah. Kalo ada apa-apa langsung telepon aku," pesan Ara yang dijawab anggukan kepala oleh Chika.

"Ntar makan malemnya pesen aja. Kayanya aku nyampe rumahnya juga malem. Dan yang paling penting, jangan lupa minum air putih, ngerti?" kata Ara menambahkan. Chika kembali mengangguk.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang