Part 19

2.8K 388 88
                                    

Chika datang ke kantor seperti jam-jam biasa. Beberapa waktu terakhir, ia terlihat sangat sibuk hingga tampak dengan jelas kantung matanya yang sedikit menghitam. Baginya, berangkat pagi dan pulang petang, sudah menjadi hal biasa.

Namun berbeda dengan Ara, menghadapi seorang wanita kantoran adalah suatu hal baru baginya. Ternyata, kalo sudah saking sibuknya, ketika weekend pun Chika masih harus bekerja. Oleh karena itu, Ara kini semakin perhatian. Penyebabnya jelas, bisa dipastikan bahwa Chika akan lupa makan jika sudah berkutat dengan pekerjaan. Tentu ia tidak ingin maag istri tercintanya itu sampai kambuh.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan memiliki suami sebaik Ara dan sepeka Ara, Chika sengaja tidak makan sampai suaminya itu membujuk untuk makan dan berujung harus disuapi sembari mengerjakan tugasnya.

Benar-benar semanja itu sosok Yessica Tamara Harlan jika sudah menaruh hati pada lelaki.

Tapi, ada yang berbeda hari ini. Bahkan sampai menjelang makan siang pun, tak ada kabar dari Ara sama sekali. Padahal mereka sudah membuat janji untuk makan siang bersama. Entah berapa pesan yang telah ia kirim, namun tak kunjung mendapat balasan juga.

Saat Chika ingin memantau dari CCTV seperti biasa, tiba-tiba Mirza datang dan bertanya, "Chika, kata Brielle rapat dengan Bagaskara Corp dimajuin, ya?"

Chika mengernyit tidak paham. Seingatnya, hari ini dia ada rapat dengan Bagaskara Corp itu jam setengah dua siang. "Dimajuin jam berapa?"

"Satu jam dari jadwal semula," jawab Mirza seraya berjalan mendekat.

Chika langsung melirik pada pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 11.45, itu artinya Chika hanya punya waktu 45 menit untuk makan siang dan persiapan.

"Berkasnya udah kamu siapin 'kan?" tanya Chika memastikan.

"Udah aman kok untuk berkasnya," kata Mirza mengangguk mantap. Ia menyerahkan dua map berwarna merah pada Chika untuk perempuan itu periksa.

"Oke. Nggak ada masalah kalo gitu. Ntar aku coba tanyain lagi sama Azizi," komentar Chika setelah memastikan kesiapan bahan diskusi untuk rapat nanti siang.

Chika rasa, sudah tidak ada keperluan apapun lagi yang akan disampaikan oleh Mirza, begitu pun dengan dirinya. Tapi lelaki itu masih betah terdiam pada posisinya.

"Ada apa lagi, Mir?" tanya Chika.

"Nggak ada kok," kilah Mirza, merasa ragu.

"Beneran? Ngomong aja kalo masih ada yang perlu disampein."

Sebisa mungkin Chika mulai bersikap profesional dengan Mirza. Selain karena dirinya memang tidak pernah menaruh hati untuk lelaki itu sebagai 'kekasih', ia sudah berkomitmen ingin menjaga perasaan Ara.

Kalaupun Chika tidak bisa memecat Mirza, setidaknya ia harus bisa bersikap profesional sebagaimana seharusnya.

"Kalo mau berangkat sekarang, gimana? Sekalian makan siang?" Mirza bertanya namun lebih menjurus ke arah memberi penawaran.

"Kalo kamu ngajak makan siang sekalian—sorry banget, ya, Mir. Aku nggak bisa. Kamu tau 'kan? Aku nggak pengen nanti Zahrain mikir yang aneh-aneh lagi," tolak Chika tanpa keraguan sama sekali.

Mirza tertunduk lesu. Sepertinya memang sudah tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan hati perempuan yang ada di hadapannya saat ini.

"Eum, aku mau telepon Azizi dulu buat mastiin rapatnya," tegur Chika karena Mirza tak kunjung memberi respon apapun lagi. "Kalau kamu mau makan siang dulu, silakan. Dua puluh menit lagi kita berangkat," imbuhnya mengingatkan. Mirza hanya mengangguk sekilas lalu kembali ke ruangannya.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang