Part 2

3.6K 387 47
                                    

Karena proses rekrutmen karyawan baru di kafenya itu tidak seformal perusahaan besar, maka Ara memberikan kebebasan pada sang pelamar untuk datang kapan saja sesuai rentang waktu yang sudah diberikan—yakni satu hari penuh sesuai jam operasi kafe. Dengan begitu, kegiatan kafe tetap berlanjut seperti biasa.

Pelamar pertama sudah datang pagi sekali. Bahkan sebelum kafenya dibuka, perempuan berusia 25 tahun itu sudah berdiri di depan kafe. Satu usaha bagus yang sangat layak untuk diapresiasi. Namun ketika melakukan wawancara, perempuan itu berkata dengan jujur yang membuat Ara menjadi ragu. Perempuan itu menyampaikan, seandainya dia diterima di suatu restoran ternama yang ada di Jakarta Pusat, dia akan mengundurkan diri.

Aldo memberi usulan untuk tidak menerima perempuan itu. Sebab loyalitas adalah yang utama, katanya. Bahkan dia sempat berkomentar, "Apa perempuan itu pikir, kafe kita kalah untung sama restoran ternama yang ada di Jakarta Pusat? Liat aja, pasti dia bakal nyesel kalo keuntungan kafe kita berkali-kali lipat lebih besar dari restoran yang dia incar."

Satu jam setelah kedatangan pelamar pertama, datanglah pelamar kedua. Menurut catatan CV yang Ara terima, usianya 26 tahun dan masih single. Kesan yang pertama kali Ara dapatkan ketika melihat perempuan itu, ia bisa menebak jika perempuan kedua ini adalah tipe perempuan sosialita yang selalu update dengan perkembangan style anak muda zaman sekarang. Terbukti dari tampilannya yang begitu modis dan sangat menarik. Bahkan Aldo sampai tidak berkedip saat melihatnya pertama kali.
Karena Aldo adalah karyawan kepercayaan Ara dan proses rekrutmen ini atas usulan lelaki itu, maka Ara mengajak Aldo untuk ikut mewawancarai keempat pelamar yang sudah lolos berkas.

Meski merasa terkesima pada perempuan kedua itu, ketajaman indera pendengaran Aldo dapat menangkap suara yang sedikit aneh dari perempuan itu. Ia menyampaikan jika bos di kafe itu memperlakukan para karyawannya seperti teman ataupun keluarga. Jadi ia meminta kejujuran dari perempuan itu yang akhirnya membuat dirinya dan Ara sedikit terkejut tak percaya.

Setelah pelamar kedua itu pergi, Aldo lagi-lagi menyampaikan pendapatnya untuk menolak setengah perempuan itu. "Kita nggak bisa terima karyawan transgender, Pak. Apa jadinya kalo para pengunjung tau? Mereka pasti merasa nggak nyaman dan bisa menyebarkan berita yang kurang baik di sosial media."

Ara menatap tajam pada Aldo. Apa yang diucapkan lelaki itu benar. Di Indonesia, orang-orang yang melakukan tindakan Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) masih belum bisa diterima dengan baik. Ia tidak ingin mengambil resiko dan membuat kafe milik mertuanya ini jadi berantakan. Maka Ara menyetujui dan memutuskan untuk tidak menerima pelamar kedua.

Waktu terus berlalu. Ara dan Aldo sedikit gusar dan takut jika kedua pelamar yang ditunggunya itu juga tidak beres seperti kedua pelamar sebelumnya. Mereka berharap, semoga kedua pelamar yang ditunggunya saat ini benar-benar sesuai dengan kriteria yang mereka butuhkan.

Bel kecil yang tergantung di depan pintu itu bergemerincing—menandakan ada seseorang yang baru saja masuk. Ara yang sedari tadi sibuk menonton video tutorial pun menoleh. Begitu juga dengan Aldo yang baru saja menata gelas dan piring pada rak. Ia sedikit terpana pada seseorang yang baru saja datang.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, Aldo menghampiri perempuan yang bisa ia tebak ingin melakukan wawancara di kafe itu. "Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Aldo dengan ramah.

Perempuan itu melepas kacamata hitam besar miliknya. Membalas senyuman Aldo sekilas lalu menjawab dengan sopan. "Siang, Mas. Eum, saya mau wawancara."

Aldo berteriak girang dalam hati. Andai saja ia yang menjadi bos di kafe ini, tanpa mempertimbangkan apapun, perempuan modis di depannya itu sudah pasti ia terima. Kali ini Aldo merasa yakin jika orang yang ada di depannya itu seratus persen perempuan tulen.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang