Part 47

2.3K 255 33
                                    

Dua hari berlalu. Dua hari itu pula Fiony dengan senantiasa sabar menemani Ara yang terkulai lemah di atas brankar rumah sakit. Lelaki itu sempat tersadar tadi malam, namun kembali memejamkan mata saat kepalanya masih terasa sangat berat. 

Di saat seperti ini, Fiony kembali mengenang bagaimana dulu ia juga pernah berada di posisi seperti sekarang ini. Menemani Ara ketika lelaki itu harus masuk rumah sakit karena kecelakaan sebelum akhirnya berakhir di penjara.

Untuk beberapa saat, Fiony pandangi wajah lelaki itu yang kini tampak lebih tirus. Kantung hitam yang menghiasi kedua matanya jelas menunjukkan bahwa lelaki itu pasti kurang tidur beberapa waktu terakhir. 

Semakin Fiony menatap lekat wajah Ara, rasa penasaran yang muncul pun begitu besar. Ia terus berpikir mengenai segala kemungkinan yang terjadi. 

Melihat bagaimana putus asanya Ara hingga lelaki itu ingin mengakhiri hidupnya, membuat Fiony yakin bahwa Ara tengah menghadapi masalah yang begitu besar.

Ketika Fiony sibuk dengan pikirannya, ia langsung sadar ketika melihat jari-jari tangan Ara bergerak. Ada perasaan haru ketika akhirnya lelaki itu dengan perlahan membuka kelopak matanya.

Fiony bergegas memanggil dokter agar dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sesuai apa yang telah disampaikan sebelumnya. Ketika seorang dokter dan perawatnya sibuk mengecek kondisi Ara, Fiony menatap lelaki itu dengan air mata berlinang. Namun ia segera menghapus air mata itu tatkala sang dokter menoleh.

"Setelah dilakukan beberapa pemeriksaan, alhamdulillah kondisinya berangsur membaik begitu cepat. Dia melalui masa kritisnya dengan sangat baik. Kita tunggu sampai besok. Jika memang tidak ada keluhan yang serius, dia bisa pulang."

"Syukurlah jika memang seperti itu. Terima kasih banyak, Dokter."

"Sama-sama. Kalo begitu saya permisi dulu." Dokter paruh baya berkacamata itu tersenyum singkat lantas pamit keluar ruangan diikuti seorang perawat di belakangnya.

"Fio..." ujar Ara dengan suaranya yang masih terdengar lemah.

"Iya, Kak, Fio di sini." Fiony segera kembali mengambil posisi duduk di sebelah brankar.

"Terima kasih..."

Fiony tersenyum singkat lantas menjawab, "Sama-sama, Kak. Kak Ara udah ngerasa lebih baik sekarang?"

Ara mengangguk pelan pertanda bahwa dia baik-baik saja.
...

Malam harinya, Fiony kembali ke kamar inap Ara setelah izin pergi sebentar membeli makan. Menjaga lelaki itu memang selalu membuat dirinya lupa waktu dan juga lupa makan.  

"Kak Ara belum makan?" Fiony bertanya ketika sepasang matanya mendapati sebuah nampan berisi makanan di atas meja samping brankar.

Ara menggeleng pelan, "Nggak selera makan."

"Kenapa? Besok kalo kondisi Kak Ara semakin membaik, udah bisa pulang, lho. Dimakan, ya?" bujuk Fiony.

"Kalaupun udah sembuh dan bisa pulang, aku nggak tau harus ke mana," ujar Ara dengan ekspresi sedih dan putus asa. Ia sudah benar-benar merasa kehilangan arah dan tidak tahu harus berbuat apa. 

"Bukannya selama di Semarang, Kakak tinggal bareng keluarga Daniel?"

"Fio bisa nemuin Ara kemarin karena habis ketemu Daniel?" Ara balik bertanya.

Fiony mengangguk pelan lantas menjelaskan, "Terakhir kita ketemu di kantor Chika beberapa waktu lalu, seminggu setelahnya Kak Azizi bilang kalo Chika sama Kak Ara lagi berantem. Dan karena kalian berantem, Kak Ara memutuskan untuk pergi. Fio sempat cerita kalo anxiety Kak Ara sempat kambuh. Kakak tau? Chika kelihatan panik. Bahkan setelah Kak Ara memutuskan untuk pergi, Chika juga bingung cari keberadaan Kak Ara. Chika minta tolong sama Fio untuk kasih tau beberapa tempat yang memungkinkan untuk Kak Ara datangi."

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang