Last Part - AMANAH

1.8K 195 9
                                    

Jika ada yang bertanya fase apa yang paling membahagiakan selama hampir 30 tahun Ara hidup, dengan lantang ia akan menjawab bahwa hari-hari setelah pengukuhan pernikahan dirinya yang kedua bersama Chika—menjadi hari-hari yang paling membahagiakan.

Chika tidak pernah lagi bersikap ketus. Perempuan itu cenderung sering tersenyum dan bersikap manja namun tetap terlihat manis di mata Ara. Chika juga sering minta ditemani Ara saat bekerja. Karena setelah pengukuhan pernikahan kedua, ia lebih sering bekerja dari rumah ketimbang di kantor.

Kini, keadaan rumah juga menjadi terasa lebih cerah. Sesekali di waktu luang, Chika meminta diajari untuk memasak. Tentu hal tersebut bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan karena sebelumnya perempuan itu juga sudah banyak membantu Ara di dapur.

Setelah sarapan pagi selesai, biasanya Chika akan melanjutkan pekerjaannya. Begitu pun dengan Ara yang akhirnya mau tidak mau ikut bekerja dari rumah. Namun jika memang tidak ada pekerjaan urgent yang harus diselesaikan, mereka akan menghabiskan waktu untuk menonton serial drama Korea sambil bercerita segala hal yang bisa mereka obrolkan.

"Ra, kemarin aku habis baca ulang kesepakatan pernikahan yang pernah kita buat waktu di Bali," ujar Chika.

"Oh ya?"

Chika mengangguk pelan lalu menyodorkan sebuah buku catatan pada Ara. "Setelah baca ulang isinya, aku jadi memikirkan sesuatu."

"Apa?"

"Coba kamu baca poin kelima," pinta Chika ketika Ara sibuk membuka buku yang ada di tangannya.

"Jika memang salah satu dari kita ditakdirkan tidak bisa memiliki anak, maka akan dilakukan ikhtiar perawatan. Tapi jika memang tetap tidak bisa, adopsi seorang anak bayi bisa menjadi solusi," gumam Ara. Setelahny ia terdiam beberapa saat hingga akhirnya Chika berbicara, "Aku pengen coba periksa sekali lagi untuk memastikan apakah aku bener-bener nggak punya peluang buat punya keturunan."

"Sayang... kamu yakin?"

Chika mengangguk dengan cepat dan tegas. Ia memberikan keyakinan pada Ara bahwa dirinya akan baik-baik saja.

"Waktu itu Dokter Hanna pernah bilang kan? Kalau salah satu penyebab kecilnya peluang untuk bisa hamil adalah karena banyaknya aktivitas yang bikin aku stres. Begitupun dengan pola istirahatku yang nggak teratur. Maka dari itu, aku pengen mengurangi aktivitas pekerjaan yang terlalu memberatkan dan coba ikhtiar sekali lagi. Siapa tau dengan cara seperti itu masih ada peluang untuk aku bisa hamil. Gimana?"

"Kalau kamu begitu yakin, apapun yang menjadi keputusan kamu—selama itu baik dan nggak membahayakan diri kamu sendiri, pasti aku dukung."

"Terima kasih, ya, Ra."

"Sama-sama. Tapi kamu harus janji satu hal sama aku," kata Ara memberi syarat.

"Apa?"

"Kita bisa ikhtiar sebaik mungkin yang kita bisa. Tapi jika nantinya nggak sesuai kenyataan, tolong jangan memaksakan diri. Hadirnya seorang anak di tengah-tengah kita mungkin bisa menjadi pelengkap. Tapi jika dengan hadirnya dia harus membuatku kehilangan kamu, lebih baik aku nggak punya anak sama sekali."

"Kok kaya gitu?"

"Aku tau, tujuan adanya pernikahan itu salah satunya untuk melahirkan generasi penerus. Tapi kamu tau kan? Tujuan utamaku menikah denganmu bukan karena itu. Jadi aku rasa, meski kita nggak ditakdirkan menjadi orang tua dari anak yang kamu lahirkan, its okey. Yang terpenting, aku bisa sama kamu terus, jagain kamu terus. Dan juga menjalankan amanah Kak Vion sebaik yang aku bisa. Jadi, please, setelah ini jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri hanya untuk bisa kasih aku keturunan. Okey?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang