Pagi itu Sholeh sudah menjemput Indah di rumahnya. Ia menunggu dengan sabar di beranda rumah Indah seraya mengobrol bersama Ibu dari perempuan itu. Ini memang bukan kali pertama Sholeh datang ke rumah Indah, sehingga dirinya tidak perlu memperkenalkan diri pada Ibu Fatma.
Sambil ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong brownies yang masih hangat, Sholeh terlihat sudah cukup akrab dengan perempuan paruh baya itu.
"Kata Indah akhir pekan ini mau ke Purwokerto, ya, Nak Dzani?" Bu Fatma sengaja kembali bertanya untuk memastikan.
"Iya, Tante. Bunda yang minta saya ditemani Kak Indah ke sana."
"Emang ada acara apa? Bukannya hari Sabtu itu kalian masih kerja?"
"Acara nikahan temen. Soal kerjaan, kebetulan Pak Bos sama Bu Bos tempat kami kerja lagi liburan di Bali. Jadi untuk weekend besok kafenya tutup."
"Oh gitu. Nanti Ayah sama Bunda kamu ikut juga ndak ke sana?"
"Ikut, kok, Tante. Ayah sama Bunda ikut ke Purwokerto. Tapi pas ke nikahan temen cuma saya sama Kak Indah yang pergi. Nggak apa-apa, kan, ya?"
"Nggak apa-apa, kok, Nak Dzani. Saya itu sudah lama berteman sama Bunda kamu. Jadi saya percaya kalo kamu itu anak yang baik," puji Fatma.
Sholeh hanya tersenyum canggung. Nyatanya, sebuah pepatah yang mengatakan bahwa 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya' itu tidak seratus persen benar. Pasti ada faktor luar yang membuat seorang anak tumbuh tidak sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Contoh nyata itu adalah dirinya sendiri yang tumbuh menjadi anak nakal karena pengaruh lingkungan.
"Nak Dzani berangkat dari jam berapa ke sini? Kan jauh rumahnya?"
"Saya berangkat dari tempat kos, Tante. Jadi, ya, kira-kira sepuluh menit udah bisa sampe ke sini."
"Lho? Kenapa ngekos? Karena jarak rumah ke sini jauh, ya?"
Sholeh bingung harus menjawab bagaimana. Tidak mungkin juga jika Sholeh bercerita bahwa dirinya pernah diasingkan dari keluarga, sehingga ia dituntut untuk hidup mandiri dengan tinggal di kos dan bekerja di kafe.
Belum sempat menyusun kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Bu Fatma, Indah keluar dengan pakaiannya yang sangat rapi untuk berpamitan. "Bunda, Adek mau berangkat. Lho? Kok udah ada Sholeh?"
Sholeh hanya tersenyum dan melambaikan tangan singkat. Sedangkan Indah benar-benar tidak menyangka jika lelaki itu sudah menyetor muka sepagi ini di depan bundanya.
"Iya. Nak Dzani mau ngajak kamu berangkat bareng ke kafe," jelas Bu Fatma yang kemudian berdiri dari posisinya dan mengelus pundak Indah.
"Bunda yang nyuruh dia ke sini?"
"Nggak. Nak Dzani sendiri yang datang ke sini."
Indah menatap bundanya, heran. Seakrab itukah bundanya dengan Sholeh sampai-sampai memanggil lelaki cungkring itu dengan nama panggilan ketika di rumah?
"Iya, Kak. Bareng aku aja, yuk? Lumayan, kan, hemat pengeluaran," bujuk Sholeh yang ikut berdiri seolah siap berangkat.
"Lah, aku udah pesen ojek online," kata Indah.
"Cancel aja."
"Udah deket. Nah, itu dia," kata Indah menunjuk pada seorang abang ojek online yang baru datang dan berhenti di depan rumahnya.
Sholeh ikut menoleh. Ia berjalan menghampiri dan tampak mengobrol beberapa saat dengan abang ojeknya. Setelah tidak ada masalah, abang ojek tersebut melanjutkan kegiatan dan meninggalkan rumah Indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANAH
RomanceCerita ini kudedikasikan untuk Teh Ica dan Mang Ara yang cuma dapet scene tatap-tatapan doang, nyapa kagak😕😭 Nggak ada sinopsis. Kalo penasaran, langsung baca aja ceritanya. Thank you❤ tamaraseo_