“Terus kalo cewek yang rambutnya pirang kemarin itu—siapa?”
Pertanyaan itu hampir membuat Ara tersedak. Beruntung air mineral yang ia teguk beberapa detik lalu telah lolos dari kerongkongannya. Bagaimana Chika bisa tau jika kemarin dirinya menghilang dan bertemu seseorang? Padahal ponselnya sudah ia matikan.
Sengaja. Ara sengaja mematikan daya ponselnya karena ia sangat kecewa pada Chika. Ia tidak ingin berbicara pada perempuan itu untuk beberapa jenak.
Rencananya Ara ingin menghubungi Indah. Tapi mengingat Indah masih bekerja, jadi ia mengurungkan niat dan memilih untuk pergi ke makam ayahnya. Dan ternyata, saat ia berkunjung ke makam ayahnya itu, Ara bertemu dengan seorang perempuan yang nampak tidak asing baginya.
“Zahrain, kenapa nggak jawab?” Chika memecah lamunan Ara yang justru terdiam tak menjawab. Ia menatap lelaki itu penuh curiga. “Kamu main belakang, ya?”
Melihat Chika memasang wajah curiga, tiba-tiba terlintas dalam pikiran Ara untuk mengerjai perempuan itu. Ia ingin tau, apakah Chika akan cemburu jika dirinya bertemu dengan perempuan lain? Atau justru, perempuan itu akan bersikap biasa saja?
“Kalo saya main belakang sama perempuan lain, memangnya kenapa?” Ara merespon dengan ekspresi menantang.
Chika jelas terkejut. Ia tak pernah menyangka jika Ara akan balik membalas apa yang ia perbuat pada lelaki itu—main belakang dengan orang lain saat mereka berdua telah terikat status pernikahan. Chika pikir, perasaan Ara pada dirinya itu tulus. Ternyata, Ara tak ada bedanya dengan lelaki lain yang hanya memanfaatkan dirinya saja.
“Aku bakal aduin kamu ke Mama,” ancam Chika. Ia bersedekap dada sembari mengerucutkan bibirnya kesal.
Ara yang selama ini merasa diperlakukan tidak adil oleh Chika, tidak merasa gentar ataupun takut dengan ancaman perempuan itu. Ia balik mengancam, “Silakan. Tinggal saya aduin balik ke Mama tentang kamu sama Mirza.”
“Kok kamu jadi nyebelin gini, sih? Yaudah, kita cerai aja!”
Bagaikan tersambar petir, Ara yang semula menahan tawa dengan ekspresi menantang langsung terbungkam dalam diam.
Mungkin ia bisa balik menyerang Chika dengan mengadukan pada Shani tentang segala hal yang telah perempuan itu lakukan bersama Mirza. Tapi Ara lupa, Chika punya satu ancaman kuat yang tidak mungkin bisa ia penuhi begitu saja.
Cerai.
“Kok kamu main ngancemnya kaya gitu, sih, Ra?” Kini ganti Ara yang tertunduk lesu.
Chika tertawa puas dalam hati. Sekarang ia mengerti, senjata apa yang paling ampuh untuk mengancam Ara. “Biarin aja. Buat apa kita terusin pernikahan ini kalo kamu main belakang sama cewek lain?”
Ara tercengang. Ingin rasanya ia menyodorkan cermin pada Chika untuk berkaca. Yang mulai main belakang itu—Chika. Yang tidak pernah menganggap pernikahan mereka ada itu—juga Chika. Lantas kenapa sekarang Chika memutar balikkan fakta seolah dirinya yang tidak serius dengan pernikahan ini?
“Nggak gitu, Ra. Saya nggak pernah main belakang,” elak Ara. Sepertinya, sampai kapanpun, dia tidak akan pernah menang jika adu mulut dengan kaum perempuan. Apalagi dengan seorang Yessica Tamara Harlan.
“Bohong. Terus cewek rambut pirang kemarin itu siapa?” Chika kembali mengulang pertanyaannya. Posisinya tetap sama, bersedekap dada dengan tatapan matanya yang tajam meminta penjelasan.
“Kakak sepupu,” jawab Ara singkat.
“Kakak sepupu? Terus kamu mau aku percaya aja gitu?” Ara mengangguk. Jika Chika sudah memberikan tatapan matanya yang tajam, ia paling tidak bisa menghindar. Sebab Ara sangat paham. Insting perempuan ketika mengendus bau kebohongan itu sangat kuat. Jadi percuma saja jika ingin berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANAH
RomanceCerita ini kudedikasikan untuk Teh Ica dan Mang Ara yang cuma dapet scene tatap-tatapan doang, nyapa kagak😕😭 Nggak ada sinopsis. Kalo penasaran, langsung baca aja ceritanya. Thank you❤ tamaraseo_