“Tamara.. Kamu masih laper, nggak?” Ara bertanya pada Chika dengan pandangan tetap fokus ke depan. Mobil yang dikendarainya berjalan lambat lantaran kondisi jalanan yang cukup padat.
“Masih lah,” jawab Chika. “Orang aku tadi baru makan beberapa suap,” lanjutnya dengan nada kesal karena Ara buru-buru mengajaknya pulang.
“Bukannya tadi kamu agak lama, ya, di tempat makanannya?” tanya Ara. Ia merasa heran. Seingat Ara, tadi ia cukup lama berbincang dengan Feni. Rasanya tidak mungkin jika Chika hanya makan beberapa suap, minimal sudah makan setengah atau sepertiga bagian.
“Oh.. Saya tau. Jangan-jangan kamu sibuk ngobrol sama Azizi, ya?” imbuh Ara curiga.
Chika melirik Ara sekilas. “Emang kenapa? Wajar ‘kan? Zee rekan kerja aku. Kami seumuran. Dia anak dari temen akrab Papa juga.”
“Iya. Wajar, kok. Nggak kenapa-kenapa juga,” jawab Ara.
Entah kenapa Chika seperti bisa menangkap ada nada yang berbeda dari cara Ara menjawab pertanyaannya barusan. Apa lelaki itu sedang cemburu?
Chika menghentikan kegiatan bermain ponselnya. Ia bisa menebak jika Ara akan menginterogasi dirinya disela-sela menunggu kemacetan.
“Kok kamu jawabnya kayak gitu?”
“Kenapa?”
“Kamu nggak lagi mikir kalo aku ada hubungan khusus sama Zee ‘kan?”
“Oh, jadi kamu punya panggilan khusus buat Azizi?”
“Apaan, sih? Aku panggil dia Zee karena emang Papa Mamanya panggil dia kaya gitu.”
“Ayah Ibu saya juga panggil saya dengan sebutan Ara. Kenapa kamu tetep panggil saya Zahrain?”
Chika melongo tak percaya.
Ara itu sebenarnya laki-laki atau perempuan, sih? Suaminya itu terlalu memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Masalah perbedaan cara memanggil nama saja—begitu diperhatikan. Ribet. Padahal ia sendiri tidak pernah mempersalahkan cara Ara memanggil dirinya dengan nama ‘Tamara’.
“Terus masalahnya di mana? Emang apa bedanya kalo aku panggil kamu Ara?” Chika bertanya karena ia merasa otaknya tidak mampu menyelami isi pikiran Ara.
“Jelas beda, Tamara. Panggilan dari seseorang untuk kita yang dibuat berbeda dengan orang lain itu pasti ada kesan tersendiri. Istimewa.” Ara mencoba menjelaskan.
Kening Chika semakin berkerut tidak paham.
Sembari melajukan mobilnya perlahan, Ara melempar sebuah pertanyaan untuk Chika. “Boleh saya tanya sesuatu?”
Chika mengangguk pelan, merasa tertarik akan pertanyaan yang ingin Ara ajukan.
“Siapa aja yang panggil kamu dengan nama Tamara?” Ara bertanya dengan mata yang sesekali menoleh ke arah Chika dan ke arah jalan secara bergantian.
“Kamu doang, sih, kayanya.”
Ara tersenyum. Entah kenapa ada perasaan bangga tersendiri dalam hatinya.
“Misal ada orang lain yang tiba-tiba panggil kamu dengan sebutan Tamara, siapa orang pertama yang bakal kamu inget?”
Chika refleks menjawab, “Kamu.”
“Nah, itu udah tau.” Ara tersenyum lebar. Sedangkan Chika yang mulai paham dengan maksud Ara langsung memukul pelan lengan suaminya itu. “Bisa banget modusnya, ya? Eh tapi beneran deh, waktu tadi Kak Feni manggil kamu ‘Ra’, aku jadi ikutan noleh.”
Ara sedikit tertawa menanggapi. Ia kembali menginjak tuas rem saat mobil yang ada di depannya kembali berhenti. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk berbicara pada Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANAH
RomanceCerita ini kudedikasikan untuk Teh Ica dan Mang Ara yang cuma dapet scene tatap-tatapan doang, nyapa kagak😕😭 Nggak ada sinopsis. Kalo penasaran, langsung baca aja ceritanya. Thank you❤ tamaraseo_