Part 3

3.3K 408 50
                                    

"Nggak usah banyak tanya. Kamu pecat mereka besok, atau mulai sekarang kita cerai!" ancam Chika dengan tatapan mengintimidasi seperti biasa.

Ara merasa kaget bak tersambar petir. Ada apa sebenarnya dengan Chika? Apa Chika kenal dengan Muthe dan Indah? Lalu hubungan mereka tidak baik, hingga akhirnya Chika meminta dirinya untuk memecat dua perempuan yang hari ini resmi bekerja di kafenya itu.

Sejujurnya jika ingin mengikuti ego sebagai lelaki, mungkin Ara akan balik membalas ucapan Chika dengan suara tinggi. Sebab pernikahan bukan selayaknya orang pacaran yang bisa mengatakan 'putus' sesuka hati. Dan Ara merasa berhak untuk melalukan itu karena posisinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga.

Namun Ara sadar. Sedari awal hubungannya bersama Chika memang tidak baik. Jadi ia memutuskan untuk bersikap tenang dan berusaha tidak memaksakan kehendak pada Chika.

Mungkin banyak orang di luar sana akan berkomentar jika dirinya itu terlalu lemah, banyak mengalah, tidak bisa tegas dengan posisinya yang kini menjadi suami. Tapi apa yang bisa Ara lakukan selain bersabar?

Baginya, pernikahan itu hanya sekali dalam seumur hidup—seperti sosok ayahnya yang tidak pernah menikah lagi setelah sang ibunda tercinta meninggal ketika dia berumur dua belas tahun. Ara ingin mengikuti jejak ayahnya. Jadi sebisa mungkin dia sendiri yang berusaha untuk mengalah dan bersabar. Ia yakin dan percaya, suatu saat Chika pasti berubah. Yang perlu ia lakukan hanyalah membalas semua sikap dingin Chika dengan kehangatan.

Ara berjalan mendekat dan mengambil posisi di sebelah Chika. "Tamara, kamu kenapa? Kalo ada masalah, cerita sama saya."

Chika membetulkan posisinya. "Nggak. Aku nggak ada masalah apa-apa."

"Kalo gitu kenapa minta saya pecat mereka?" tanya Ara dengan suara lembut. Benar-benar tak ada kalimat sinis atau menghakimi dari nada bicaranya.

"Ya—aku nggak suka aja ada karyawan cewek di kafe," dalih Chika yang masih berusaha menutupi alasannya. "Lagian kalo kamu mau cari karyawan yang followers sosmednya itu banyak, kan, cowok juga ada."

Ara tampak berpikir. Apa yang dikatakan oleh Chika itu benar. Bahkan di tiktok saja, banyak akun cowok ganteng yang berseliweran dan mereka memiliki jumlah followers tidak sedikit.

Sejujurnya, dibanding menambah karyawan perempuan, Ara ingin menambah karyawan lelaki saja. Walau bagaimanapun, dia hanya lelaki biasa yang terkadang tidak bisa mengontrol hati ketika melihat penampilan perempuan. Namun Ara patut bersyukur, pakaian yang dikenakan Muthe dan Indah tidak aneh-aneh.

Di sisi lain, Ara juga tidak bisa memaksakan keinginannya. Selera orang pastilah berbeda-beda. Apa yang dikatakan Aldo juga benar. Para pengunjung kafe pasti akan bosan jika melihat Aldo, Sholeh dan Devan terus menerus. Utamanya pengunjung lelaki.

"Iya, saya tau. Tapi, kan—"

"Kenapa, sih, cari-cari alasan terus?" potong Chika cepat. Jika Ara sudah tau, kenapa justru merekrut karyawan perempuan? Apa mungkin Ara sengaja melakukan itu?

Sedangkan Ara hanya bisa menghela nafas. Sepertinya Chika sedang dalam mood tidak baik dan mungkin ada masalah di kantor. Jadi perempuan itu melampiaskan kekesalannya dengan meminta ia memecat karyawan perempuan yang proses rekrutmennya tidak didiskusikan terlebih dulu.

"Yaudah. Saya akan pecat mereka. Tapi—"

"Seriusan?" tanya Chika antusias.

"Saya belum selesai ngomong, Ra."

"Yaudah. Tapi kenapa?"

"Kasih satu alasan logis kenapa saya harus pecat mereka," kata Ara dengan serius.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang