Part 18

2.7K 389 51
                                    

Sudah dua kali dalam sehari Chika dibuat menunggu hanya karena ingin menonton sebuah film. Pertama kakak sepupunya, Ariella, yang tiba-tiba membatalkan janji karena Erik akan pergi keluar kota. Kedua suaminya sendiri, Zahrain, yang entah kenapa sampai saat ini belum juga kembali.

Chika berdecak kesal. Jam dinding di rumahnya telah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh menit. Pakaiannya sudah sangat rapi dan siap untuk pergi. Ia kembali mengecek ponsel, berharap ada pesan dari suaminya itu. Namun, nihil. Bahkan nomor Ara tidak aktif sejak sore.

Kata Aldo, Ara tidak kembali ke kafe setelah mengantar dirinya pulang. Lalu, kemana sebenarnya lelaki itu?

Tingkah Ara yang sering menghilang seperti inilah yang selalu membuat Chika tidak bisa berhenti curiga. Saat di kafe, bawaannya curiga sama Indah. Saat di luar kafe, tentu kecurigaannya semakin meningkat—meski tidak tau ingin curiga sama siapa. Pokoknya, bawaannya pengen curiga aja.

Sebenarnya Chika juga kesal terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa berhenti merasa cemburu. Padahal baik Vion ataupun Ara, keduanya sama-sama bisa dipercaya dan tidak pernah main belakang. Tapi tetap saja, ia tidak bisa mengontrol perasaan cemburunya itu.

Hmm. Sepertinya Chika memang harus memeriksakan diri kepada psikolog atau yang sejenisnya. Karena bisa jadi, ada kemungkinan bahwa ia terkena gangguan mental sesuai penelitian yang pernah ia baca dulu.

Cup.

Chika terkesiap. Ia hampir saja menampar seseorang yang sudah kurang ajar mencium puncak kepalanya tanpa permisi. Ternyata orang itu adalah Ara yang baru saja datang dan meletakkan beberapa kantong belanjaan. “Jangan ngelamun terus, Ra.”

“Kamu dari mana aja, sih? Katanya jam delapan? Ini udah jam berapa?” protes Chika. Jangan harap dengan ciuman yang lelaki itu berikan barusan bisa membuat dirinya luluh, tidak akan.

“Iya, maaf. Ada beberapa barang yang harus aku beli dulu tadi,” jawab Ara mengambil posisi di depan istrinya.

“Ini apa?” tanya Chika ketika ia baru sadar dengan banyaknya kantong belanja yang Ara letakkan di atas meja.

“Makan malam.” Ara mengeluarkan beberapa kotak dari plastik.

“Makan malam? Bukannya kita mau pergi?” Chika menatap Ara, heran. Padahal lelaki itu sendiri yang tadi memberikan penawaran.

“Siapa bilang kita mau pergi?” Ara balik bertanya.

“Loh, kamu sendiri tadi yang ngajak aku nonton ‘kan? Karena aku nggak jadi nonton sama Ci Eril.” Chika mendengus sebal. Apa Ara sudah pikun sekarang? Awas saja sampai acara menontonnya itu batal.

Ara menghentikan aktifitasnya sejenak lantas tersenyum lebar pada Chika. “Coba diinget-inget lagi. Aku ngajak kamu nonton, Tamara. Bukan pergi ke luar.”

Dahi Chika mengernyit, tak paham. Pikirannya yang sudah dipenuhi oleh amarah karena Ara pulang terlambat, kini harus dibuat berpikir oleh lelaki itu. “Maksudnya gimana, sih? Jangan bikin orang bingung, deh.”

“Kita jadi nonton, tapi di rumah.” Ara menunjukkan beberapa DVD yang sudah ia beli tadi.

“Ha? Nonton di rumah? Kenapa nggak bilang dari awal, sih?” dengus Chika kesal. “Tau gitu, kan, aku nggak perlu dandan heboh kaya begini.”

Ara memperhatikan penampilan istrinya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Sempurna,” ucapnya seraya tersenyum lebar.

“Kalo gitu aku mandi dulu. Udah gerah banget ini habis muter-muter. Aku minta tolong makanannya dipindahin ke piring, ya, Sayang.” Ara beranjak dari posisinya dan berlalu menuju kamar dekat tangga, meninggalkan Chika yang masih terbengong mencoba memahami.

AMANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang