22 | Ngunduh Wohing Pakarti

4.2K 765 134
                                    

Ngunduh wohing pakarti = setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya.



***



20 Agustus 2020

Lelaki itu!

Ketika mendaratkan mata kepada lelaki itu, Ayu merasa seperti berada dalam sebuah film. Air matanya hampir tumpah, tetapi ia bisa menahannya dengan baik. Selama menjadi Gauri, ia berhasil menekan emosi dan perasaannya agar tidak menangis ketika kehilangan begitu banyak orang lain yang dicintainya. Tentu, hal seperti ini pasti masih bisa menahannya. Ia tak bisa berkata-kata, hanya mampu melongo dengan detak jantung yang tak karuan. Lelaki itu masuk bersama dua gadis lainnya, membawa buket bunga dan buah-buahan khas menjenguk orang yang sakit. Mata dari gadis yang berjiwa sama dengan Gauri itu tak bisa lepas dari lelaki yang ia yakini merupakan reinkarnasi Hayam Wuruk. Yang membedakan adalah rahang laki-laki itu tak setegas suaminya di kehidupan yang lampau, juga tak memiliki kumis dan jenggot tipis yang menghiasi wajah tampannya. Ia sama sekali tak berkedip hingga sang ibu mengagetkannya.

"Ayu, jangan melamun. Mereka adalah siswa-siswi dari sekolah Damar yang banyak membantu ketika kamu kecelakaan. Ayo, beri salam," perintah ibunya, seakan-akan Ayu adalah balita yang masih perlu diajari sopan santun, alih-alih kedua adiknya yang menyebalkan.

"A-ah iya, salam kenal." Ayu mengangguk kecil sebagai gestur menyapa, tetapi matanya masih senantiasa menatap lelaki yang terlihat dingin dan tak banyak bicara itu. Lelaki yang tak ia ketahui namanya itu tampak tampan dengan memakai kemeja berwarna biru muda.

Laki-laki itu tak tersenyum, hanya memulai pembicaraan di ruangan yang hening itu sembari membungkukkan badan. "Mbak Ayu, kami hendak meminta maaf karena tidak bisa menghentikan kecelakaan beberapa bulan yang lalu."

Batin ibu Ayu bersorak-sorai. Astaga, betapa sopannya pemuda yang satu ini. Sudah cocok menjadi calon menantunya.

"Ah, itu bukanlah kesalahan kalian. Jadi, jangan meminta maaf," ujar Ayu dengan perasaan hati tak enak. Matanya kerap mencuri-curi pandang kepada lelaki yang mirip dengan suaminya di kehidupan yang lalu itu. Mereka berempat saling terdiam karena tak tahu harus membicarakan apa. Ibu Ayu membelah keheningan dengan menyuruh ketiga tamu Ayu duduk di kursi yang memang sengaja diletakkan di kamar itu, sebab teman-teman putrinya itu sering berkunjung.

"Ayo duduk dulu, jangan berdiri seperti orang terkena udun (bisul) di pantat begitu. Tante buatkan minuman dulu, ya. Sirup atau teh?"

"Tidak usah repot-repot, Tante," ujar salah satu gadis dengan sopan. Mereka berniat membesuk, bukan menumpang minum di rumah Ayu. Namun, Ayu yang hanya menujukan pandangannya kepada satu-satunya lelaki di ruangan itu masih tak kunjung sadar, belum menyadari keberadaan insan lain di kamar Galih.

"Oke, teh hangat." Ibu Ayu tak mengindahkan ujaran gadis itu, langsung memutuskan secara sepihak dan melenggang menuju dapur setelah berpamitan. Jadilah ruangan itu diselimuti keheningan. Ayu tak biasanya sediam ini, tetapi ada suatu hal yang bercamuk di kepalanya sehingga membuat ia mau tak mau terdiam. Serius, reinkarnasi Hayam Wuruk datang tanpa perlu aku cari? Betapa baiknya Tuhan, mempermudah jalan Ayu untuk menepati janji kepada sang maharaja. Dan semoga lelaki itu, meski tak memiliki ingatan Hayam Wuruk, masih mengingat janjinya untuk kembali jatuh cinta kepada Ayu.

Berbasa-basi, mereka menanyakan keadaan satu sama lain. Mereka menyerahkan buket bunga warna-warni dengan harapan Ayu tetap semangat walau tak bisa keluar rumah dan melakukan aktivitas seperti biasa. Selain kakinya belum sembuh total, ada Covid-19. Tak sengaja, mata Ayu dan lelaki itu akhirnya bertemu, membuat atmosfer di ruangan itu terasa magis dan mengandung aliran listrik. Lelaki itu tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya kepada Ayu, "Nama saya Dipuy, Mbak. Ketua pelaksana pensi akbar kemarin."

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang