16 | Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati

4K 669 31
                                    

Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati = Jika diinjak harga dirinya, diganggu ketenteramannya akan bersatu melawan, meski memiliki keterbatasan.



***



1359

Rombongan Hayam Wuruk bertolak menuju daerah lereng Gunung Kawi untuk melakukan puja di pendharmaan yang didirikan khusus untuk sang maharaja. Pun di tempat itu terdapat situs Kagenengan yang digadang-gadang merupakaan candi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa atau lebih dikenal dengan nama Ken Arok. Ken Arok bukanlah seorang rakyat biasa. Ibunya adalah Ken Endok, putri salah satu pejabat pemerintahan di daerah Pangkur (nama sebuah wilayah di lereng Gunung Kawi) yang menikah dengan Gajah Para yang tak lain merupakan pejabat dari tanah Kediri. Namun, Ken Endok melakukan persenggamaan dengan Dewa Brahma dan memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, lalu kembali ke Pangkur yang berada di daerah Malang Raya di masa depan, tempat ayahnya memerintah. Sementara Dewa Brahma sendiri bukanlah sosok dewata, melainkan seorang rohaniawan sekaligus pejabat informal yang mengeluarkan Prasasti Pamotoh dengan nama Sri Dingkas Resi. Menurut cerita yang beredar, Sri Dingkas Resi merupakan keturunan dari bangsawan yang terkalahkan dan maka tak mungkin jika sebenarnya Ken Arok masih keturunan dari raja-raja di Jenggala yang dikalahkan oleh Jayabaya.

Sri Dingkas Resi mengumpulkan kekuatan untuk mengalahkan Kediri, maka Ken Arok yang meneruskan keinginannya untuk meruntuhkan Kediri sebagaimana leluhurnya di Jenggala terkalahkan oleh Jayabaya dahulu. Maka, bukan tidak mungkin jika Ken Arok bisa merebut posisi Tunggul Ametung sebagai akuwu untuk membalaskan dendamnya kepada Kertajaya, raja Kediri yang saat itu tengah menjabat. Kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh perilaku Ken Arok sebagai perampok, ditafsirkan hanya sebagai strategi dalam rangka membebaskan kawasan timur Gunung Kawi dari pendudukan Kediri. Setidaknya, itulah yang diyakini Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan yang lain.

Selama delapan belas tahun hidup di Majapahit, Adirangga sudah kenyang atas cerita mengenai Ken Arok yang beristrikan Ken Dedes dan Ken Umang. Walau tak mengetahui bagaimana rupa aslinya, Adirangga yakin bahwa perawakan sang raja pertama Singosari itu mirip dengan patung yang pernah ia lihat. Ia cukup sering mengunjungi GOR Ken Arok ketika ada pertandingan voli tingkat kota dan di sanalah Elang melihat patung tersebut. Gauri? Jangan tanya jika ia mengetahui adanya sebuah candi di Kagenengan atau tidak, sebab yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya kembali ke masa depan. Sang maharaja sendiri secara personal mengunjungi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa, tanpa mengajak orang lain. Tak heran jika Gauri tak mengetahui perihal pendharmaan Sri Ranggah Rajasa, buku paket sejarah pun tak memuat hal ini.

Adirangga berencana untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Gauri yang begitu menggebu-gebu ingin kembali menjalani hidup sebagai Ayu dan Elang. Lelaki itu tak bisa memungkiri bahwa dirinya merindukan kehidupan sebagai Elang, namun sudah terlanjur nyaman dan menikmati perannya sebagai Adirangga. Sore itu, ia memutuskan untuk mengajak Gauri berbincang mengenai hal tersebut. Rintik gerimis tak menghalangi mereka, sebuah daun pisang yang lebar menjadi tameng sekaligus saksi atas perbincangan keduanya.

Mereka menjauh dari penginapan, tak ingin orang-orang mendengar pembicaraan yang penuh akan rahasia itu. Adirangga membiarkan Gauri berbicara terlebih dahulu. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan tadi? Mengenai masa depan, bukan?"

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, Gauri membicarakan tentang masa depan. Adirangga menghela napas gusar, dadanya bergemuruh. "Ayu, aku sudah hidup delapan belas tahun lamanya di masa ini. Jauh sebelum dirimu datang kemari dan memakai tubuh adik Adirangga itu."

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang