6 | Waktunya Berpisah

4.1K 725 17
                                    

17 Juli 2017

Saat di bangku kelas sembilan, Elang tak juga berkesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya satu kelas dengan Ayu. Ia begitu iri dengan Damar yang tiga tahun berturut-turut selalu berada di kelas yang sama dengan gadis yang selama ini disukai secara diam-diam oleh Elang itu. Namun, perasaan iri itu sedikit sirna ketika mengetahui kelas mereka bersebelahan. Terlebih, pada jadwal bimbel, ia satu ruangan dengan Ayu. Lebih tepatnya, ia akan mengikuti bimbingan belajar dari sekolah dalam ruang kelas Ayu. Di bagian belakang kelas Ayu, terpajang foto-foto target nilai ujian nasional beserta sekolah menengah atas yang dituju oleh siswa-siswi di kelas Ayu. Kelasnya melakukan hal yang sama dan Elang bersyukur akan hal itu karena secara tidak langsung ia bisa mengetahui SMA impian Ayu. Elang tersenyum lebar, pasalnya SMA yang akan dituju Ayu adalah satu-satunya SMA publik yang diperbolehkan Hadi untuk Elang masuki.

Semua harapannya pupus, hatinya hancur berkeping-keping begitu melihat situs PPDB Provinsi Jawa Timur. Ayu tak memasuki sekolah yang dulu ia incar, mereka tak akan pernah bisa berada dalam satu kelas lagi. Namun, seberkas rasa semangat mencuat di dada Elang. SMA yang dimasuki Ayu dan SMA yang dimasukinya masih berada dalam satu kompleks, artinya mereka masih bisa bertemu dan bertatap mata. Di sisi lain, Damar begitu kecewa dengan keputusan Ayu. Ia memang mendaftar lebih dulu di situs PPDB karena ia percaya Ayu masih berpegang teguh dengan keinginannya untuk memasuki salah satu SMA favorit di kota mereka. Bukannya sekolah yang dimasuki Ayu sekarang tidak favorit, hanya saja Damar benar-benar kecewa karena mereka harus berpisah.

"Maaf, Mar," ucap Ayu dalam panggilan teleponnya dengan Damar.

"Apa yang perlu dimaafkan, Yu? Toh kamu sudah terlanjur masuk ke sekolah itu," cicit Damar sembari mempersiapkan diri untuk mengikuti MPLS hari ini.

"Ada alasan khusus kenapa aku milih masuk ke sekolah ini."

Dalam hati Damar membatin, Setiap ia membuat keputusan tanpa memberitahuku, Ayu selalu mengatakan hal yang sama. "Alasan apa? Pasti bukan karena ingin bertemu Elang karena ia satu sekolah denganku."

"Aku ingin lebih mandiri. Jika aku memutuskan untuk masuk sekolah yang sama denganmu, aku tidak akan bisa mandiri karena akan selalu bergantung ke kamu. Belum lagi ... butuh biaya besar untuk bersekolah di sana karena ada banyak acara internal dan eksternal. Kamu juga tahu kalau aku bodoh, 'kan? Sekolah itu berisi para jenius. Aku mana mungkin bisa bersaing dengan mereka? Maka aku memilih sekolah yang paling biasa di antara semua SMA favorit," jelas Ayu panjang lebar. Suaranya terdengar parau di telinga Damar. Padahal Ayu cukup pintar untuk bersaing dengan para jenius itu. Padahal nilai ujian nasionalnya masih mencukupi untuk masuk ke sekolah ini. Padahal ada Damar jika Ayu kesusahan membayar uang sekolah. Damar mungkin lupa bahwa motto Ayu adalah tak memanfaatkan uang teman karena ia trauma dengan pendapat orang lain mengenainya. Keluarga Ayu memang cukup berada, namun dengan dua adiknya yang masih kecil, pasti Ayu memikirkan kondisi keuangan keluarganya di masa mendatang.

"Tapi, kita masih bisa bertemu, kan?" cicit Damar dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah tiga tahun ia menempel pada Ayu seperti perangko dan tiba-tiba mereka harus berpisah, pasti butuh waktu yang tidak sebentar bagi mereka untuk beradaptasi tanpa kehadiran masing-masing.

"Masnya, bagaimana tidak bakal bertemu? Sekolah kita masih satu kompleks dan hanya dibatasi sama tembok yang menjulang tinggi, lho. Kita bisa bertemu di aula bersama kalau kamu kangen."

Damar tertawa kencang mendengarnya. Mungkin ia terlalu mendramatisir keadaan. "Tapi, Yu. Aku tahu kok kalau keputusanmu ini berhubungan dengan Elang. Kamu pasti mau melupakannya."

Terdengar suara desahan dari seberang. "Benar, Mar. Aku ingin berpaling dari Elang yang mendadak berubah jadi berengsek satu tahun yang lalu. Kayaknya emang bener aku kena pelet. Eh, btw aku tutup dulu ya telponnya. Mau berangkat nih, takut telat terus dihukum waktu MPLS. Oh ya, rambutku dikuncir tiga tahu!"

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang