13 Februari 2016
Sudah bulat keputusan Elang untuk meminta restu dari kedua orangtuanya. Ia berencana memberitahukannya saat makan malam keluarga pada malam minggu ini. Ia berharap-harap cemas dan mendatangi ruang makan terlebih dahulu. Kemudian mama Elang muncul dan duduk di kursi yang biasa ia duduki. Para pelayan menyajikan makanan dengan cekatan. Elang masih menanti-nanti kedatangan sang kepala keluarga. Matanya tak ada berhenti menatap tangga rumahnya yang megah. Arsy merasakan kegelisahan putranya, bertanya mengenai keadaan Elang setelah para pelayan pergi. "Ada apa, Lang?"
"Tidak, Ma. Elang hanya menunggu kedatangan Papa. Ada hal penting yang harus Elang sampaikan kepada Papa dan Mama," jawab Elang sembari menekah rasa gelisahnya yang semakin menjadi-jadi.
"Papamu tidak bisa bergabung dengan kita malam ini. Ada perjalanan keluar kota mendadak. Tadi ia ingin berpamitan, tetapi kamu masih mandi," kata Arsy sembari menatap putranya penuh kecurigaan. Ia mengambilkan makanan untuk Elang, kemudian mereka mulai menyantap makanan masing-masing. Elang mendesah kecewa. Hari ini adalah satu-satunya kesempatan Elang untuk mengatakan yang sejujurnya kepada kedua orangtuanya karena ia tak tahu apakah keberaniannya masih membara seperti saat ini di kemudian hari.
"Katakan pada Mama, Lang. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, bukan?" tanya Arsy lembut. Elang berpikir bahwa Arsy lebih terbuka daripada Hadi, sang papa. Ia merasa bahwa Arsy akan memahami perasaannya dan membantu membujuk Hadi untuk melonggarkan cengkramannya pada hidup Elang. Maka, ia memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Arsy.
"Elang menyukai seseorang, Ma. Mungkin sudah pada tahap jatuh cinta," ungkap Elang sembari menilik ekspresi wajah Arsy yang langsung berubah menjadi sedikit kaku. Arsy meletakkan alat makannya di atas piring, lalu menegak air putih dan meletakkan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri piring.
"Siapa namanya?" tanya Arsy penuh selidik. Elang tahu bahwa percakapan ini tak akan mudah. Kedua orangtuanya memang sangat konservatif mengenai siapa-siapa saja yang menjalin hubungan dengan keluarga Hadiwangsa.
"Namanya Ayu," jawab Elang yang masih was-was mengenai perubahan ekspresi Arsy.
"Dan nama keluarganya?"
"Tidak ada, ia tak memiliki nama keluarga seperti kita." Sudah Elang duga Arsy akan menanyakan perihal asal-usul Ayu, namun ia takkan menyerah begitu saja. "Keluarganya cukup berada, Ma. Mereka memiliki sanggar tari dan tempat pelatihan sinden."
Arsy mendesah gusar. "Properti keluarganya takkan bermanfaat bagi keluarga kita, Elang. Kau pikir apa ada hubungannya sanggar tari dengan pabrik garmen?"
"Apa hubungannya properti keluarga dengan cinta, Ma? Apa sekarang masih umum menikah karena bisnis?" tanya Elang menggebu-gebu, sangat tersinggung dengan ucapan Arsy yang merendahkan keluarga Ayu, seolah-olah memiliki sanggar tari bukanlah hal yang hebat.
"Tentu saja ada, Elang. Kita adalah orang kaya baru, papamu adalah generasi pertama dari kerajaan bisnisnya dan kau adalah seorang putra mahkota. Apa yang akan dikatakan para penanam saham di perusahaan papamu jika putra mahkotanya menikah dengan orang biasa? Kita harus memperkuat bisnis ini supaya bisa bertahan hingga generasi-generasi berikutnya," jelas Arsy dengan mata yang menyiratkan amarah.
Elang mencengkram erat pegangan garpu dan sendok. Urat-uratnya menonjol, menandakan ia benar-benar marah saat ini. "Memangnya peraturan itu masih berlaku di dunia ini? Ada cara lain untuk mengembangkan bisnis tanpa pernikahan macam itu. Pernikahan yang Mama maksud sangat melanggar hak asasi. Mama dan Papa melanggar hakku sebagai manusia yang bebas dengan mengeksploitasi hubungan percintaanku!"
"Kau masih begitu muda, Elang. Mungkin sepuluh hingga lima belas tahun lagi kau bisa mengerti mengapa kami mengambil keputusan ini. Mama sarankan, segera buang jauh-jauh perasaanmu untuk Ayu atau Mama akan mengadukannya kepada papamu. Kau tahu sendiri bagaimana kejamnya papamu ketika ada sesuatu yang merisaukan hatinya, bukan?" ucap Arsy kalem, lalu ia mengambil garpu dan sendoknya. Ia menyantap makanan itu tanpa mempedulikan Elang yang sudah benar-benar kecewa. Tak hanya kecewa, Elang pun marah hingga membanting sendok dan garpunya ke atas piring, menimbulkan bunyi berdenting yang memekakan telinga. Beberapa pelayan tak berani mengintip, hanya menguping dari balik dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelara Ing Ati
Historical Fiction[Cakrawala Mandala Series #2] Jika Sang Hyang Adi Buddha berbaik hati mengembalikan jiwanya ke tubuh Ayu, akankah gadis itu mampu menemukan dan menaklukkan kekasih hatinya? Namun, mungkin Sang Pencipta takkan memberikan jalan yang mudah. Sang Hyang...