21 | Andhudhuk Apus Kependhem

4.1K 775 111
                                    

Andhudhuk apus kependhem = perkara yang sudah padam.
Peringatan! Bab ini mengandung konten dewasa.

***



1378

Hari ini adalah peringatan pernikahan Gauri dan Hayam Wuruk. Setelah mengadakan perjamuan untuk keluarga besar, mereka berdua menghabiskan waktu dengan berjalan mengelilingi keraton. Di bawah sinar rembulan yang misterius, mereka bergandengan tangan di sebuah taman dekat ruangan Hayam Wuruk tanpa satu pun pengawal. Wilayah sekitar memang sengaja dikosongkan, sebab sang maharaja ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan selir yang sangat ia kasihi. Mereka tak banyak bicara, menikmati keterdiaman dan kebersamaan yang berharga ini. Gauri tiada henti tersenyum, pipinya bersemu merah. Meski cahaya bulan malam ini terhalang oleh pohon-pohon yang tinggi menjulang, Hayam Wuruk bisa melihat merahnya pipi Gauri.

"Putra kita, benar-benar keras kepala. Kurasa aku tahu dari mana ia mendapatkan sifat itu," ucap Hayam Wuruk sembari terkekeh kecil, mengingat kelakuan Naradhiptawardhana di perjamuan tadi.

"Jangan mengatakan hal itu. Aku memang keras kepala," cebik Gauri. Namun, ia tak bisa menyembunyikan senyuman dari wajahnya. Ia senang mengetahui bahwa suaminya itu amat memperhatikan dirinya, juga hafal dengan sifat dan kebiasaan-kebiasaan kecilnya.

Hayam Wuruk tertawa mendengar penuturan istrinya yang mala mini terlihat jelita di matanya, melupakan fakta bahwa mereka semakin menua dan tak lagi muda. "Ia begitu nakal, ingin merusak suasana romantis pada malam peringatan pernikahan kita, Gauri. Untung saja Kusumawardhani dan ayahandaku berhasil menghalanginya. Keras kepalanya mirip denganmu. Wajah merajuknya pun identik, seperti pinang dibelah dua denganmu."

"Kangmas yang lebih mirip dengannya!" Gauri merajuk, kembali mencebik untuk menggoda sang maharaja yang sudah seperti menjadi budak cintanya. Pepatah harta, takhta, dan wanita memang benar adanya, bukan hanya sekadar kata-kata kosong tak bermakna. Bahkan maharaja seagung Hayam Wuruk pun bisa tunduk di bawah seorang wanita. Ia tak mengambil begitu banyak selir, sebab dirinya telah dibuat jatuh cinta semati-matinya oleh Dyah Gauri Kusuma Cahyaratri.

Mereka berdua pun berbincang-bincang, kebanyakan mengenai kejadian di perjamuan tadi. Gauri menanyakan perihal ekspresi Kusumawardhani yang tampak tak begitu bersahabat dengan Wikramawardhana. Hayam Wuruk mengaku tak tahu-menahu, hanya menjawab bahwa mereka berdua mungkin sedang bertengkar. Namun, Gauri tahu ada sesuatu yang mengganjal pada perilaku sang maharaja saat membicarakan mengenai Kusumawardhani sejak kepergian putri sulung mereka ke Kabalan dua tahun yang lalu. Setelah lama berbicara, mereka kembali terdiam. Mungkin untuk mendengarkan irama jangkrik yang tengah menembangkan lagu kasmaran untuk mereka.

"Terima kasih untuk hadiahnya, Kangmas," ucap Gauri pelan, membelah keheningan dan suara jangkrik-jangkrik tersebut.

"Itu bukanlah apa-apa, Dewiku."

Pipi Gauri masih senantiasa bersemu merah. Ia mengalihkan pandangan ke sisi lain. Entah mengapa dirinya merasa malu, padahal mereka berdua telah saling mengenal luar dalam. Angin berembus pelan, menerbang rambut panjang yang sengaja digerai oleh Gauri. Hayam Wuruk melihatnya dan melepas genggaman tangan mereka. Lalu, menarik Gauri mendekat dalam rangkulan tangannya yang kekar dan berotot. "Apakah sudah cukup hangat, Dewiku?"

Gauri bisa merasakan bahwa sang suami mendekapnya erat, membiarkan setiap jengkal tubuh mereka saling bersentuhan walau masih terbalut busana. Bukannya kedinginan, Gauri malah merasa gerah. Tanpa banyak bicara, Hayam Wuruk pun menuntun istrinya untuk duduk di bawah sebuah pohon rindang sembari menanti jawaban keluar dari bibir istri yang amat disayanginya itu.

"Sudah lebih dari cukup, Kangmas."

"Haruskah kita kembali ke dalam ruanganku?"

Gauri menggeleng tegas. "Tidak, aku masih ingin menghabiskan waktu di tempat ini. Berdua dengan Kangmas."

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang