14 | Ngemit

3.7K 651 48
                                    

Ngemit = Menjaga



***



1359

Adirangga memacu kudanya begitu cepat ketika mendengar kabar adik sulungnya tenggelam dan hanyut dalam arus sungai. Ia begitu menyayangi Gauri yang semakin lama semakin mirip dengan Ayu, meski kini ia sudah jatuh cinta sepenuhnya kepada Padmarindi setelah melihat perjuangan perempuan itu kala melahirkan putra mereka, Arangga. Ketika melihat tubuh adiknya sudah memucat di pinggir sungai, jantung Adirangga berhenti sepersekian detik. Pun ia tak bisa berhenti cemas ketika Gauri sudah dua hari tak sadarkan diri. Selama di Pendopo Kabupaten, lelaki itu sama sekali tak bisa fokus.

Di tengah ketidakfokusannya itu, Adirangga mendengar kabar bahwa Gauri telah siuman. Tanpa banyak berbicara, Adirangga langsung berlari menuju kediamannya. Ia bahkan lupa bahwa ada kuda yang bisa lebih cepat membawanya kembali ke rumah. Setibanya di sana, Adirangga mendapati adik kesayangannya telah siuman dengan wajah yang linglung. Ia memanggil Arangga dengan nama Damar, sedikit membuat Adirangga terkejut. Akan tetapi, lelaki itu menganggapnya hanya sebagai halusinasi.

Setelah Gauri tenang dan tertidur kembali setelah siuman, Adirangga mendapati kedua orangtuanya tengah berbincang-bincang dengan nada khawatir. Sebuah kalimat terlontar dari mulut Adi Wirakusuma, "Tidakkah apa yang dialami Gauri ini mengingatkanmu kepada sesuatu, Adinda?"

"Maksud Kangmas, mengenai kecelakaan yang dialami Adirangga?" tanya Widosari khawatir. Ketika mendengarnya, jantung Adirangga berdetak tak karuan. Tidak mungkin pola yang sama tersebut hanya sebuah kebetulan, bukan?

"Ya. Ketika berusia delapan belas tahun, Adirangga mengalami kecelakaan dan hilang ingatan setelah siuman. Dan sekarang ketika berusia delapan belas tahun, Gauri mengalami hal yang sama. Apakah ini sebuah kebetulan atau keluarga kita terkena kutukan?" tanya sang ayahanda penasaran dan juga ngeri, membayangkan seluruh anggota keluarganya akan mengalami kecelakaan dan hilang ingatan jika memang hal ini disebabkan oleh kutukan.

Kini Adirangga mengerti. Bahwa Gauri yang asli mungkin telah mati, hal yang sama terjadi pada Adirangga yang asli. Dan, mungkin yang saat ini berada di raga adiknya itu adalah Ayu. Memikirkan tentang hal itu membuat Adirangga dirundung kecemasan. Selama ini ia bisa hidup dengan normal sebab tahu bahwa Gauri bukanlah Ayu. Namun, sekarang ia tak yakin apa yang akan terjadi kedepannya. Perasaan kasihnya mungkin akan kembali menjadi cinta yang membara. Di tengah kefrustasiannya itu, Adirangga memutuskan untuk mendatangi kedua orangtuanya.

"Menurutku, itu bukanlah sebuah kutukan. Hanya terjadi secara kebetulan saja. Kita tak pernah melakukan sesuatu yang sekiranya membuat Sang Hyang Adi Buddha murka, tak mungkin keluarga kita menerima kutukan. Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Ayahanda, Ibunda. Lebih baik kita berfokus pada pemulihan Gauri," ujar Adirangga penuh logika. Bisa saja Gauri tetap Gauri, bukan Ayu. Perihal hilangnya ingatan, hal tersebut pun bisa dijelaskan secara medis. Ketika hanyut, mungkin kepala Gauri terhantam batu. Ya, Adirangga optimis bahwa yang ia dengar bahwa Gauri memanggil nama Damar hanya sekadar halusinasinya saja.



***



Semakin Adirangga mencoba untuk menekan perasaannya, semakin ia tak bisa mengontrol debar jantungnya setiap melihat Gauri tersenyum kala berbincang-bincang dengan Arangga dan kedua adik perempuannya yang lain. Aura yang terpancar dari Gauri, tak lagi sama seperti dahulu. Ada sesuatu yang mengingatkan Adirangga mengenai Ayu dari aura tersebut. Mau berkali-kali menampik kenyataan tersebut, Adirangga yakin bahwa Gauri yang asli memang sudah benar pergi dan tergantikan oleh jiwa Ayu.

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang