17 | Tumekaning Pati

3.6K 659 56
                                    

Tumekaning Pati = Hingga kematian
"Death steals everything except our stories."
ーJim Harrison



***



1359

Pagi ini terlihat puluhan pemuda beserta belasan temenggung tengah memadati kawasan Hutan Nandaka. Prabu Hayam Wuruk ingin mengadakan perburuan di tempat ini dan mengajak kaum lelaki untuk bergabung bersamanya. Adirangga dan Arangga tengah bersiap-siap, menggenggam anak panah dan sebuah busur dari kayu terbaik. Adirangga yakin bahwa Arangga mampu membidik seekor rusa mengingat Damar adalah anggota ekstrakurikuler panahan. Padmarindi menatap kedua lelakinya bangga, tersenyum merekah. Perempuan itu turut membantu putra serta suaminya bersiap-siap.

Adirangga merasa bersalah sebab telah menolak ajakan Gauri untuk berbicara empat mata. Bukan tanpa alasan, dirinya masih belum menemukan kalimat yang tepat untuk mengatakan kebenaran di hadapan perempuan itu. Ia tak terkesiap begitu Gauri mendekati dan mengajaknya berbicara. "Kangmas, ada waktu?"

Ingin kembali menolak, Adirangga tak sampai hati. "Hanya sebentar. Perburuan akan segera dimulai."

"Benar. Aku janji ini tidak akan lama."

"Baiklah. Katakan."

Gauri mengembuskan napas dalam-dalam, menatap mata Adirangga lekat-lekat supaya lelaki itu tak bisa kabur lagi. "Mengenai perkataan Mpu Wiraga. Apa yang harus kita lakukan? Aku akan menunggu sampai dirimu siap. Tapi, tolong berilah aku kejelasan."

Tergagap, Adirangga memutuskan untuk membeberkan rahasia hati kecilnya dengan kesedihan yang bisa ditangkap oleh mata Gauri. "A-aku ... baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya, Gauri. Aku tidak siap meninggalkan keluargaku. Bisakah kita pergi setelah mereka benar-benar siap melepaskan kita?"

Namun, Adirangga masih belum memiliki keberanian untuk mengatakan kecurigaannya mengenai Mpu Wiraga. Melihat ekspresi Gauri, ia menyadari bahwa perempuan itu tidak akan percaya begitu saja mengenai kecurigaan Adirangga.

"Dan, kapan mereka siap melepaskan kita?"

"Mungkin lima puluh tahun lagi." Adirangga memang telah mempertimbangkannya. Lima puluh tahun lagi ia akan menjadi seorang kakek-kakek dan siapa pun pasti siap untuk melepas kepergiannya. Walau mungkin, dirinya yang tak siap untuk pergi meninggalkan istri, adik, anak, dan cucunya kelak.

"Sekarang aku yang bertanya. Apa kamu sudah tidak waras? Kamu ingin kita kembali ke masa depan setelah lima puluh tahun lamanya? Memang kamu ingin menjadi seorang remaja yang jiwanya sudah pernah hidup selama puluhan tahun lamanya?" cerca Gauri brutal dengan suara tertahan. Jelas sekali perempuan itu menahan agar volume suaranya tidak mengencang, menahan agar amarahnya tak menyembur ke permukaan. Elang pernah melihat Ayu marah sebelumnya. Namun, tak semenakutkan ini. Ini adalah amarah seorang Ayu yang sesungguhnya.

"Lima puluh tahun atau tidak selamanya," tawar Adirangga dengan tatapan mata tajamnya. Ia merasa harus mempertahankan hidupnya yang nyaman ini selama mungkin, sebab ia tak ingin cepat kembali dalam cengkraman Arsy jika apa yang dikatakan Mpu Wiraga benar adanya.

Mendengarnya, Gauri mencoba mengendalikan emosinya dan menyetujui penawaran Adirangga meski dalam hati masih tak rela. "Baiklah, lima puluh tahun. Awas saja jika kau ingkar janji. Dikira aku tidak meradang melihatmu bermesraan dengan Yunda Rindi?"

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang