20 | Bebisik Nguwuh-uwuh

3.9K 741 55
                                    

Bebisik Nguwuh-uwuh = ingin menyembunyikan dengan rapi, tetapi ketahuan karena kelakuan dan ucapannya mencurigakan.



***



17 Juli 2020

Elang sudah pulih dan kini tengah menjalani rawat jalan. Ketika memeriksa kondisinya untuk yang terakhir kali dan membuka perban—radius dan ulna sebelah kanannya sedikit retak, lelaki itu memutuskan untuk membesuk Ayu yang sampai sekarang masih terbaring koma. Ia membawa rangkaian bunga seruni. Ketika membuka ruangan yang dulu ia tempati itu, Elang mendapati Damar tengah duduk di sofa sembari menatap ke arah jendela yang terbuka. Angin semilir berembus, menerbangkan gorden dan juga sedikit menebarkan aroma seruni di genggaman Elang. Damar yang menyadari keberadaan Elang, tersenyum meski tidak mungkin terlihat sebab ia mengenakan masker. Ia lantas bangkit dan menghampiri lelaki itu.

"Seruni lagi?" tanya Damar sembari menerima karangan bunga tersebut dari Elang. Ia pun mengganti bunga-bunga yang telah layu di atas vas dengan yang baru. "Omong-omong, jangan lupa cuci tangan dulu di kamar mandi. Pakai hand sanitizer juga!"

Elang yang hendak meletakkan pantatnya di atas sofa pun mendengus, langsung bertolak menuju kamar mandi untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh reinkarnasi putranya itu. Dari dalam, ia menanggapi pertanyaan Damar tadi. "Iya. Seruni, supaya Ayu selalu bahagia." Selalu bahagia dalam hidupnya sebagai Gauri.

"Kenapa harus seruni, sih? Fyi, Ayu tidak suka bunga ini. Dia tidak suka sama segala jenis bunga," ketus Damar, tetapi tetap merasa berterima kasih atas kebaikan keluarga Hadiwangsa yang sudah membantu meringankan beban keluarga Ayu dalam membayar biaya rawat inap yang tidak sedikit.

"Idih, kemeroh (sok tahu)." Elang berdecih.

Sebenarnya Damar kebingungan. Mengapa setelah siuman, Elang berubah total? Bahkan saat mereka pertama kali bertemu ketika Damar menjenguk Ayu pun, Elang langsung sok kenal, sok dekat, sok akrab kepadanya. Ia merasa salah satu saraf Elang ada yang terputus.

"Sumuk rek, nyopot masker oleh gak seh? (Gerah nih, boleh tidak sih melepas masker?)" tanya Elang sembari menarik masker medisnya sedikit jauh dari hidung dan mulut, lalu bernapas kuat-kuat.

"Eh Lang, menurutmu aku perlu beritahu Ayu tentang berita-berita ngawur itu?" tanya Damar, tak menanggapi pertanyaan Elang. Ia pun menjatuhkan pantatnya di atas sofa, membuat mereka sedikit berjauhan. Physical distancing, katanya.

Elang terdiam, membayangkan reaksi dan ekspresi apa yang akan Ayu tunjukkan ketika mengetahui judul berita ngawur itu. Lelaki itu terkekeh, "Kamu yakin mau memberitahunya? Kalau iya, pasti bakal kocak."

Mereka berdua dan obrolan memenuhi ruangan itu. Elang, sejujurnya jadi sangat menyayangi Damar. Ia membayangkan bahwa sahabat Ayu itu adalah putra yang ia besarkan delapan belas tahun lamanya, meski ruhnya saja yang sama. Ia ingin mengetahui bagaimana kehidupan Arangga sepeninggal Adirangga, tetapi langsung menyadari bahwa Damar tak memiliki ingatan sebagai lelaki itu. Kini, ia hanya bisa menunggu Ayu bisa secepatnya siuman. Ia berjanji tidak akan pengecut lagi, ia ingin bertukar cerita dengan gadis itu.

Obrolan mereka berdua terus mengalir, tak hanya membicarakan tentang Ayu. Namun, mereka turut membahas hal-hal sepele. Damar keheranan, ia merasa begitu dekat dengan Elang padahal hanya sekadar mengenal sebelumnya. Ia pun tak marah kepada Elang yang jelas-jelas memiliki seorang tunangan karena setidaknya, lelaki itu peduli kepada sahabatnya. Pun Elang telah menjelaskan segala sesuatu kepada Damar tanpa ditutupi, kecuali perihal yang terjadi di Majapahit. Damar pun tak terkejut. Ia sudah memiliki praduga tipis sejak Elang melihat Ayu di ruang paduan suara. Akan tetapi, ia tak menyangka bahwa Elang sepengecut itu.

Lelara Ing AtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang