28🍁

57 10 0
                                    

Harapan itu ialah satu dari ribuan
Yang selalu membuatku kecewa.
-Arra-
.
.
.

Saat ini Arra dan Dhamar telah sampai di sebuah kafe di ujung jalan sekolahnya. Dhamar memarkirkan motornya di dekat sebuah mobil BMW warna putih.

"Dasar Arra bocil masih aja gabisa lepas helm." Gerutu Dhamar dengan senyuman sambil membantu melepaskan helm Arra karena ia terlihat kesusahan membukanya.

Lagi lagi Dhamar menggandeng tangan Arra menuju dalam kafe. Mereka terlihat serasi saat berjalan beriringan seperti saat ini . Dhamar yang tinggi gagah dan tak luput dari kegantengannya. Dan Arra yang tinggi semampai dengan paras cantik nan imutnya.

"Lo duduk sini bentar ya gue pesenin." Pamit Dhamar setelah itu melangkah menuju tempat taking order. Arra hanya mengacungkan satu jempolnya di depan wajah Dhamar.

Setelah menyeleseikan orderan Dhamar kembali ke tempat duduk yang berada di pojok ruangan. Tepatnya tempat duduk yang di duduk i oleh Arra saat ini.

"Nih buat lo." Ucap Dhamar tiba tiba sambil menyodorkan sebuah boneka pinguin.

"Apani?."

"Boneka."

"Maksut gue buat apa?."

"Buat lo."

"Hufftttt. Maksut gue dengan alasan apa Dhamar ngasih ini ke Arra."

"Buat hadiah lah masak iya buat lo jual lagi."

"Makasih."

"Btw gue beli rokok di depan dulu yak." Pamit Dhamar lagi sambil menunjuk sebuah warung di depan kafe. Tepatnya di seberang jalan.

Lagi lagi Arra hanya mengacungkan jempol. Bukan apa apa atau karena hal apa , Arra saat ini tengah canggung dan gak tau mau ngomong apa. Makanya kelakuannya bisa bertambah dingin melebihi es pada Dhamar. Tak lama pesanan yang telah di pesan oleh Dhamar telah datang. Arra segera membantu menata makanan yang telah di turunkan oleh seorang waitress dari tray yang ia bawa. Tak lupa ia juga mengucapkan terimakasih pada waitress tersebut.

Arra menoleh kearah luar, mencari keberadaan Dhamar. Matanya menangkap sosok Dhamar yang masih berdiri di dekat tiang listrik dengan telinga tersumpal earphone dan kepala menunduk menatap benda gepeng di tangannya. Tak lama Dhamar menoleh ke arah kanan dan kiri dan melangkahkan kakinya ketengah jalanan yang bisa terbilang sepi. Matanya masih setia menatap benda gepeng itu dan tanpa ia sadari sebuah mobil truk melaju kencang dari arah kiri. Arra terperanjat melihat truk itu. Ia segera berlari keluar untuk menyelamatkan Dhamar.

Bruaaakkkk. Suara tabrakan itu menggema ke penjuru sudut jalanan. Banyak orang berbondong bondong melihat korban. Darah berceceran dimana mana. Sayup sayup terdengar nama Dhamar yang keluar dari mulut seorang gadis yang tubuhnya sudah berlumur darah. Tangannya berusaha menggapai tangan seorang lelaki yang terkapar di pinggir jalanan.

"Dh-Dhamaarr." Ucap Arra lirih sambil berusaha meraih tangan Dhamar.

***
"Tolong selamatkan putri saya dok." Ucap Amel yang kini membantu mendorong brankar Arra menuju ruang operasi.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin bu."

"Berapapun biayanya akan saya bayar dok asal dokter bisa menyelamatkan nyawa adik saya."

"Baik kami akan berusaha semaksimal mungkin mas ,bu. Jangan lupa berdoa untuk keselamatan pasien."

Suasana di ruang tunggu operasi sangat mengkhawatirkan. Amel yang nampak sendu dengan air mata yang tak pernah berhenti menetes serta Azra yang melihat adik tirinya sedang berjuang melawan maut di balik jendela pintu operasi.

1 jam sudah Arra di dalam ruang operasi. Tak lama seorang dokter setengah baya dengan setelah jas warna putih keluar dari ruang operasi Arra.

"Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Tapi." Ucap dokter itu menggantungkan kalimat.

"Tapi apa dok?." Sentak Amel dengan nafas yang memburu menunggu lanjutan kalimat dari dokter itu.

"Kami masih belum bisa mencangkok paru parunya. Kami hanya mengambil darah beku yang ada di kepalanya."

"Kenapa gak bisa dok?."

"Kondisi pasien sangat tidak memungkinkan untuk melakukan operasi pencangkokan paru paru. Tunggu hingga pasien benar benar pulih baru kita bisa melakukan pencangkokan itu."

"Lalu gimana kondisi adik saya sekarang dok."

"Sudah melewati masa kritis namun masih belum sadar. Dan sebentar lagi akan di pindahkan ke ruang inap."

"Makasih dok."

"Baik saya permisi." Pamit dokter tersebut kemudian berlalu pergi.

Di lain tempat para pasukan THIERS tengah menunggu kesadaran ketua mereka. Siapa lagi kalau bukan Dhamar. Dhamar belum sadar sejak kejadian kecelakaan tadi. Wajahnya pucat , perban yang melingkar di kepalanya serta selang oksigen yg terpasang di hidungnya.

"Ini semua gara gara lo yan." Ucap Gio pada salah satu personil THIERS yang bernama Brian yang juga teman dekat Dhamar.

"Kok gue."

"Iya gara gara ide konyol lo bos jadi kayak gini."

"Gue gak tau kalo bakal berakhir kayak gini yo."

"Ahhh serah lah." Teriak Gio frustasi.

"Sudah sudah ini kecelakaan ga seharusnya kita saling menyalahkan. Yang terpenting sekarang kesehatan si bos." Ucap personil lain mencoba melerai adu mulut tersebut.

Ruangan kembali hening hanya suara mesin pemacu jantung yang terdengar. Silau cahaya lampu menerobos masuk kedalam kornea mata Dhamar yang kesulitan terbuka. ia membuka matanya secara perlahan. Aroma obat menusuk kedalam indera penciumannya.

"Dimana gue." Ucapnya lirih.

"Si bos udah sadar. Lo di rumah sakit bos lo kecelakaan."

"Trus keadaan orang yang nyelametin gue gimana?." Ucapnya lagi dengan terburu buru.

"Kayaknya beda rumah sakit deh bos soalnya pas lo di bawa kesini cuma ada lo gak ada yang lain." Jawab Brian terus terang.

"Arra tau gak soal ini?."

"Gue gak liat Arra bos dari tempat kejadian sampe sekarang."

Dhamar hanya manggut manggut mendengar ucapan Brian. Dhamar mencoba mengingat ingat kejadian kecelakaan kemarin. Namun kejadiannya begitu cepat yang ia ingat hanyalah ia terdorong hingga jatuh membentur trotoar. Lalu ia sama sekali tidak ingat apa apa lagi.

introvertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang