24🍁

61 11 9
                                    

Setidaknya masih ada orang
Yang peduli sama gue
-Arra-

"Lo duduk sini dulu ya. Gue ambilin minum."

"Kamar ini jadi kamar siapa kak?."

"Kamar tamu." Azra meninggalkan Arra dan mengambilkan segelas air untuknya.

"Arra sayang, kamu gak papa?." Ucap Amel penuh kekhawatiran.

"Gak papa kok ma, cuma sedikit kesleo aja ntar lagi juga sembuh."

"Maafin mama ya datangnya telat." Ucap Amel sambil memeluk erat putri tirinya tersebut.

"Mama udah pas kok waktunya:) , Arra seneng banget punya mama kayak mama. Walaupun cuma mama tiri" Arra membalas pelukan Amel dengan penuh arti.

Uhukk uhukk. Arra terbatuk, ia melihat telapak tangannya penuh darah. Tubuhnya masih tertaut dengan pelukan amel. Matanya semakin lama semakin pudar dan berkunang kunang tak butuh waktu lama Arra pun tumbang dalam pelukan Amel.

"Arra kamu kenapa sayang??. Arra buka mata kamu. Arra bangun . Azraaaaa. Azraaa cepet kesini."

"Ada apa ma?."

"Siapkan mobil secepatnya dan bubarkan acaranya. Arra lebih penting kita buat pesta lain waktu."

Azra buru buru memanaskan mobil ketika semua orang telah meninggalkan kediamannya. Azra menggendong Arra ala bridal style.

Mobil Azra melaju cukup kencang. Menyalip diantara mobil mobil lainnya. Tak sampai 15 menit Arra sudah sampai di rumah sakit. Dan telah masuk kedalam unit gawat darurat.

"Dengan keluarga pasien?." Dokter keluar dengan menggunakan setelan jas putih dan stetoskop yang mengalung pada lehernya.

"Kami keluarganya."

"Ada yang ingin saya bicarakan pada kalian tentang keadaan pasien."

"Bicarakan saja dok." Kini Azra yang berbicara. Azra dan amel mengikuti langkah dokter setengah baya yang bisa terbilang seumuran dengan Amel.

***

"Apa dok?? Kanker paru paru? Dokter gak bohong kan?." Amel kaget dan tak percaya dengan ucapan dokter.

"Dokter gak salah periksa kan dok?, Priksa adik saya sekali lagi dok ." Kini giliran Azra yang berbicara.

"Sesuai hasil lab yang dilakukan dan pemeriksaan menyeluruh, pasien benar benar mengidap penyakit itu. Dan sudah menginjak stadium 3."

"Nggak dok dokter pasti bohong kan?."

"Saya harap kalian bisa mendukung dan menjaga kesehatan pasien, saya permisi."

Dokter itu pamit menuju ruangannya, brankar Arra pun telah dipindahkan kedalam ruang rawat.

"Arra..."

"Arra udah tau kok ma , kak. Arra memang sakit leukimia."

"Apa??."

"Kenapa kaget?."

"Ka-kamuu...."

"Jelasin ma aku kenapa."

"Kamu mengidap kanker paru paru stadium 3."

Bagai di sambar petir dan jatuh kedalam jurang. Dunianya begitu hancur. Mendengar pernyataan yang begitu berat untuk di terima.

Arra terdiam meratapi begitu berat cobaan yang selalu ia hadapi. Ya walaupun ia tau tuhan gak akan pernah memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya.

"Hufffttt" Ia menghela nafas panjang.

"Sepertinya gue harus lebih bersabar deh." Ucapnya lirih dan hampir tak terdengar.

"Kamu yang sabar ya Ra kamu pasti sembuh. Mama akan perjuangin kamu tapi kamu juga harus berjuang."

"I-iya ma , mama sama kak Azra janji ya ? ,gak akan bilang ke ayah soal ini."

"Tapi kenapa Ra kenapa papa gak boleh tau?." Kini Azra yang bertanya dengan alis yang bertautan.

"Jangan aja ma. Arra gamau buat ayah khawatir." Ucap Arra dengan senyum miring, ia tahu betul walaupun dikasih tahu, Hasan tak mungkin peduli padanya.

***
Mentari sudah melambai dari timur. Bahkan cahayanya telah menerobos kaca di dekat balkon sebuah kamar. Namun seorang gadis masih terlelap di ranjangnya dengan memeluk sebuah boneka beruang berwarna biru.

"Arra sayang bangun yuk, sarapan dulu terus minum obat." Amel mengguncang guncangkan badan Arra dengan lembut.

"Iya ma." Gadis dengan irish warna kecoklatan itu segera bangkit dari ranjangnya dan menerima nampan berisi susu dan roti untuk sarapan.

"Kamu pulangnya besok aja ya nunggu badan kamu pulih dulu. Mama yang akan bilang ke papa."

"Nggak ma , Arra gamau jadi masalah lagi. Abis sarapan Arra langsung pulang ya ma?." Arra menatap mama tirinya itu dengan puppy eyes yang terpasang rapi di matanya.

"Iya deh tapi diantar Azra ya??."

"I-iya ma."

Arra menyeleseikan Acara sarapannya. Menit menit berikutnya ia telah bersiap untuk kepulangannya dari kediaman mama dan ayahnya ini, meninggalkan kamar yang menyimpan banyak kenangan dan mungkin tak akan pernah kembali lagi kesini.

Arra menatap arlojinya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Waktu masih menunjukkan pukul 08.03, masih cukup pagi untuk keberangkatannya ke rumah bundanya. Seperti kata Amel, Arra diantarkan Azra untuk mencapai rumah Claudia.

"Lo beneran mau pulang sekarang Ra?."

"Iya kak. Takut ayah keburu balik."

"Yaudah yuk berangkat." Mereka berpamitan pada Amel. dan melesatkan mobil mereka diantara mobil mobil lainnya.

***

Langit menyambut seakan melambai dengan warna birunya. Nampak lingkaran pelangi menghiasinya. Begitu juga awan putih yang berbentuk seperti permen seakan menambah kecerahan pagi ini. Arra memandang keluar jendela mobil. Matanya mengikuti alur pemandangan yang ia lewati. Tak cukup padat, beruntungnya Arra tak sampai terjebak macetnya kota.

"Btw sorry ya buat kelakuan Dhamar kemarin." Azra mencoba membuka keheningan diantara mereka.

"Udah biasa kok kak."

"Gue gak bakal biarin lo di sakit in siapa siapa termasuk Dhamar dan Sellia , gue gak mau lo kenapa napa."

"Gue udah gede kak, gue bisa jaga diru sendiri." Kekeh Arra.

"Gue gak mau terima resiko dan buat gue menyesal." Terang Azra dengan tatapan serius pada Arra.

Seketika cairan bening meluruh dari pelupuk mata Arra. Ia menghapus kasar cairan itu dengan punggung tangan. Ia tertegun dengan penuturan Azra. Tak habis fikir ternyata seorang Azra yang ia anggap sebagai personil dari Dhamar and the geng ternyata peduli dengannya.

"Makasih udah peduli sama gue kak. Kakak mengingatkan Arra dengan kakak Arra."

"Kakak kan kakak Arra juga." Kekeh Azra.

"Iyain aja deh hehehe."

introvertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang