26🍁

59 9 0
                                    

"Gila sih anak pungut aja belagu."

"Dasar anak pungut hahaha."

"Udah gak harga diri gak punya malu pula."

"Alena sayang yang namanya gak punya harga diri itu ya gak punya malu."

"Kalo gue sih mending minggat ya ketimbang cuma buat beban orang lain."

"Dia mah lebih pantes mati hahahaha."

Arra tak menggubris kalimat kalimat yang berlalu lalang di telinganya.ia hanya menyumpal telinganya menggunakan earphone dan memutar lagu kesukaannya.

Brakkkk. Sebuah suara gebrakan membuyarkan lamunan Arra. Arra menoleh kearah sumber suara. Nampak Sellia yang terengah-engah berjalan kearahnya dengan menghentak hentakan kakinya. Arra hanya tersenyum simpul dan menautkan alisnya sebagai tanda pertanyaan pada Sellia.

"Eh anak pungut. Udah berani masuk sekolah nih. Berani banget lo deketin Dhamar."

"Maksut lo?."

"Nih."

Arra terkejut saat mendapati Sellia menunjukkan sebuah foto dimana Dhamar sedang memegang pundaknya. Foto itu diambil saat acara ulang tahun Azra.

"Sebelum ngelabrak tu cari tau kebenarannya dulu."

Plakkk. Sebuah tamparan melayang bebas ke pipi Arra. Arra hanya tersenyum miring dengan memegang i pipinya.

"Gadis bullyable udah mulai berani ?? Iyaaa??."

"Gue udah muak dengan perlakuan yang seenak kalian. Apa mau kalian ha? Kalian semua gak berhak nindas gue kayak gitu." Ucap Arra menggebu gebu dengan deraian air mata.

"Eh cupu lo itu emang pantes di bully , bahkan ayah lo aja gak nganggep lo ada." Sarkas Sellia dengan menunjukan sebuah video dimana Arra , Amel dan Hasan di parkiran.

"Udah jadi beban keluarga , beban temen , beban semua orang. Dan sekarang ?? Lo malah mau ngebebanin hidupnya Azra sekeluarga iya??." Lagi lagi Sellia mendesak dengan senyuman remeh. Tangan Arra telah mengepal. Dan seketika menonjok muka Sellia. Dan di satu sisi perlakuan Arra di ketahui oleh kepala sekolah yang tidak sengaja lewat kelasnya.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Nasib Arra begitu mengenaskan. Bahkan kata bahagiapun tak pernah ia dapatkan.

"Arra!!! , berhenti!!!.  Apa apaan kamu ?." Ucap pak Ahmad seorang kepala sekolah Harapan Bangsa yang kini sedang menatapnya garang penuh Amarah.

"S-saya gak be-bermaksut pak."

"Bohong pak dia nindas saya. Perut saya sakit pak ,pipi saya juga di tampar hiks hiks." Sellia memulai Dramanya.

"Eng-enggak pak Sellia bohong."

"Bapak lebih percaya pada Sellia ketimbang sama kamu. Dan kamu ikut saya keruang BK sekarang."

Arra pun mengikuti langkah pak Ahmad berkepala botak yang berjalan dengan berkacak pinggang. Arra hanya membuntuti dari belakang. Dan menulikan sementara telinganya saat mendengar sindiran sindiran yang tertuju padanya.

***

"Sa-saya di scors pak?."

"Iya dan bapak harap selama kamu di scors kamu bisa merubah diri kamu."

"Yang harusnya di scors bukan saya pak tapi Sellia."

"Kamu sudah salah jangan mengelak lagi."

"Percuma saya ngomong hingga mulut saya berbusa. Toh bapak nggak akan percaya. Bapak cuma mau reputasi sekolah dan reputasi Sellia baik di sekolah ini iya kan pak?."

Plakkkk. Satu tamparan mendarat kulus di pipi Arra. Dengan reflek kepala Arra miring dan tangannya memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu.

"Jaga nada bicara kamu sama bapak. Apa kamu tidak di ajarin sopan santun sama orang tua kamu?."

"Orang tua?? Bahkan orang tua saya tak pernah menganggap saya ada. Saya permisi." Arra bergegas keluar ruangan dengan nafas yang memburu bahkan nafasnya juga tersengal sengal. Sesekali Ia juga memukuli dadanya berharap rasa sesak di dadanya bisa sedikit hilang.

***

Ini adalah hari terakhir masa scorsingnya. 3 hari sudah masa scorsing ia jalani dengan merenungi nasib serta membaca buku pelajarannya.

"Besok apalagi ya." Ucapnya tiba tiba sambil melamunkan hal apa yang akan terjadi esok hari.

Setelah badannya hampir remuk di pukuli oleh Arya, serta 2 hari tak pernah menyentuh makanan karena Claudia tak memberinya jatah makan sebagai hukuman atas kesalahan yang jelas jelas bukan salahnya.

"Kak Andra, Arra capek banget kak. Arra nyusul kesana ya kak." Lirih Arra sambil menggapai sebuah foto seorang lelaki yang menggendong bocah perempuan dengan gaya bridal style.

Tiba tiba Arra merasakan nyeri di dadanya , nafasnya tersengal sengal ia mencoba menghirup oksigen dalam dalam namun nihil, ia tak bisa memaksakannya. Ia kesulitan mengambil nafas. Bahkan nyerinya tak kunjung hilang. Hingga satu waktu kesadarannya pun hilang.

"Arra buka mata kamu sayang." Ucap Amel sambil menggenggam telapak tangan Arra.

Silau cahaya menusuk kedalam indera penglihatannya. Nampak ruangan bernuansa putih dan bau obat menyengat. Ini bukanlah kamarnya. Ini di rumah sakit. Pikirnya. Kondisi Arra sangat memprihatinkan. Wajah yang begitu pucat. Mata yang memerah dan jangan lupakan alat bantu bernafas yang bertengger menutup hidung dan mulutnya.

"A-Arra kok b-bisa disini?." Tanya Arra sambil menautkan alis tipis.

"Kamu pingsan sayang, tadi mama kerumah kamu , niatnya mau ngajakin kamu untuk nemenin mama belanja. Tapi pas bundamu meminta mama untuk menyusulmu ke kamar. Mama menemukanmu tergeletak di sebelah meja belajar." Jawab Amel jujur.

"Lalu bunda mana?." Tanyanya polos.

"Mama belum bisa ngabarin bunda kamu karna dari tadi handphone-nya gak aktif. Hanya suara operator yang bersuara."

Arra menghela nafas panjang. Ia tak bisa menyangkal bahwasannya bundanya tengah sibuk mempersiapkan pernikahannya yang akan di gelar sekitar 2 bulan lagi.

introvertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang