Malam sudah begitu larut, Irene yang berencana akan tidur di pukul delapan ternyata hanya angan. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Ia berada di balkon kamarnya, entah apa yang ditunggunya mungkin sesuatu dari mana entah asalnya yang akan lewat didepannya, menakutinya, lalu ia lari dan menutup semua akses untuk masuk ke kamarnya dan mulai terlelap.
Tidak, itu hanya khayalan Irene tadi. Ia sedikit takut berada diluar sini tapi sampai saat ini ia masih bertahan, ia juga tak lupa membawa selimutnya untuk menutupi tubuhnya. Setidaknya ia masih punya akal sehat di malam sedingin ini.
Cuaca pun seakan mendukung perasaan Irene saat ini. Ia ditemani angin kencang yang siap membawa temannya hujan datang kemari lalu dengan sekejap menyapu basah satu kota ini.
Irene semakin mengeratkan balutan selimutnya. Dia memang bukan orang kuat, dia hanya sok kuat untuk pura-pura baik-baik saja padahal hatinya hancur.
Pikirannya kembali melayang ke kejadian tadi siang yang sebentar lagi akan menjadi kejadian semalam. Dimana dirinya melihat wanita itu dengan santai menduduki kursi yang mungkin memang diperuntukan untuknya. Tak mudah bagi Irene menyimpan rasa sakit ini, ia ingin sekali bercerita kepada seseorang. Selama ini ia menceritakan semua ke Jaeden, tapi sekarang orang itulah yang menyakitinya.
Dia tak hanya duduk beralaskan lantai nan dingin dan balutan selimut, sesekali airmata nya turun membasahi pipi sedikit.. Sedikit hingga matanya sembab. Tubuhnya mulai menggigil. Memori nya terulang dari awal ia melihat Jaeden.
Sesekali bibirnya terangkat dengan getar.
"c-cause you know that b-baby i.." lantunnya pelan dan bergetar."im your biggest fan.."
"i'll follow you untill you- love me"
"papa paparazzi" lanjutnya lalu menundukan kepalanya ke lutut.Tangisnya kembali pecah, ia menyebutkan nama Jaeden saat itu. Berteriak berharap sang empu mendengarnya namun yang terjadi adalah, seseorang memanggilnya.
"Ren?" panggil Finn dari belakangnya.
Irene tak menggubris.Lantas Finn menekuk lututnya dihadapan Irene sembari merangkulnya. "ren?" panggilnya sekali lagi.
"kenapa? Ngapain disini" tanyanya dengan nada khawatir.
"F-finn.." akhirnya Irene mengangkat kepalanya lalu menatap Finn.
"astaga ren, kenapa? Kenapa nangis?" tanya nya.
Irene pun menceritakan yang mau ia ceritakan. Tenggorokan Finn tampak kencang seperti menahan amarah nya.
Ia ingin sekali menghabisi mantan kekasih adiknya itu malam ini juga. Tapi rencana itu ditepis oleh Irene mentah-mentah."Finn, no! Jangan sakitin dia," katanya menahan Finn berusaha meredam saja amarahnya.
"ren, tapi-"
"biar gue aja yang ngerasain, jangan dia Finn please." katanya memohon.
"hmm, oke. Tapi Ren sekarang lo masuk terus tidur, atau gue turun tangan buat-"
"iya iya Finn, oke gue tidur sekarang oke? Jangan apa-apain dia"
Finn menarik napas gusar dan hanya pasrah dengan keputusan yang Irene buat.
Kemudian ia memastikan Irene sudah terlelap dalam tidurnya lalu ia pun kembali ke kamar.▄▄▄||▄▄▄
Keesokan paginya, masih weekend. Irene membuka matanya yang sembab akibat menangis terlalu lama tadi malam. Sepirat sinar matahari mengenai tepat di depan pupil matanya, membuatnya menyipitkan dua kelopak mata itu.
Ia lantas bangun dari tidurnya. Namun kepalanya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ia kembali jatuh ke kasurnya sambil memegangi kepalanya.
Tak lama kemudian Finn datang, "ren?"