Author's pov.
Dengan perasaan yang campur aduk, Irene menuruni tangga menyusul bundanya yang sudah didepannya saat ini. Dibawah sana, seseorang yang membuatnya gila karena cinta yang setelah sekian lama tak ia rasakan.
Katakan saja mantan, ia sekarang hanya seorang mantan, layaknya kekasihnya dulu.Kembali terbayang tawa candanya dipikiran, tepatnya tawa itu di siang itu, di cafe. Laconic, tempat favorit dirinya dan seorang mantan itu. Tapi saat itu, tidak usah pedulikan tempat favorit, yang ia rasa hanya kecewa.
"nak Jaeden, maaf ya nunggu lama. Tante ke dalam dulu ya, mungkin kalian butuh waktu untuk bicara dulu." sahut Katie memulai suasana saat canggung.
Langit sudah mulai gelap, lampu ruang tamu dihidupkan oleh Katie untuk memberi pencahayaan disana. Kemudian sesuai yang dikatakan, Katie kembali ke kamar dan menutup pintu, membiarkan anaknya mengambil waktu itu.
Irene mendekat ke arah Jaeden, walau hatinya masih sakit, emosi nya meluap, tapi tentang rasa rindu Irene tak bisa berbohong, ia merindukan mantannya sekarang. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Jaeden.
Meskipun terkejut, Jaeden berusaha menetralkan ekpresinya. Ia menatap Irene, begitu juga dengan Irene dengan matanya yang memerah karena habis menangis.
Jaeden berusaha memulai pembicaraan, sangat berusaha. Walau hanya satu kata sekarang, ia akui itu usaha. Namun naasnya, tangan Irene sudah lebih dulu mendarat di pipinya. Jangan berharap jika Irene mengelus halus pipi Jaeden seperti dulu, ia menamparnya.
Keterkejutan Jaeden bertambah sekarang, ternyata ini alasan Irene memilih duduk disebelah nya. Terbukti, setelah menampar Jaeden, ia beranjak dan duduk di sofa yang lebih jauh dari Jaeden.
"r-ren?" panggil Jaeden ragu.
"hm" jawab Irene, ia memandang Jaeden tajam.
"aku minta maaf, soal kemarin di cafe. Aku, aku hanya-" kata Jaeden terbata.
"hanya berpindah haluan selama aku sakit?" potong Irene.
"Ren? Ngga.. Cewe itu bukan siapa-siapa aku" ucap Jaeden.
"oh ya? Berarti dia sok kenal banget ya? Kenapa dia ga negur aku ya? Dia udah negur satu cafe itu belum?" tanya Irene dibuat-buat.
"o-oke ren, aku bakal jelasin.." kata Jaeden menelan ludah.
"jelasin." kata Irene mengulang.
"dia Sateen.." ujar Jaeden.
"loh, dia ngasih tau namanya?" Irene menopang dagunya seolah-olah menjadikan dirinya seperti Host atau MC dalam suatu acara talkshow.
"Ren.."
"iyaaa Jaeden, dia Sateen. Terus?" Irene memberi penekanan pada kalimatnya.
"dia, dia emang bukan siapa-siapa aku sekarang, karena.." lagi-lagi Jaeden ragu mau mengatakan.
"karena?"
"dia mantan aku dulu." barulah Irene tau alasan Jaeden, siapa perempuan itu.
"m-mantan?" tanya Irene, kini ia tak setegar tadi. Ia benar-benar runtuh sekarang, menyesal? Tidak juga tapi yang jelas ia merasakan sesuatu yang membuatnya ingin untuk tidak mengatakan putus.
"iya Ren, sorry soal itu, aku ga sempat ngasih tau kamu. Kamu maafin?" tanya Jaeden.
Irene melamun, dipikiran nya hanya dia dan Jaeden sudah tak bersama lagi. Namun akhirnya ia menghembuskan nafas gusar, "huhh, oke. Aku maafin" ucap Irene.
Jaeden terbelalak kaget, "Ren, beneran?" katanya sedikit bersemangat. Irene mengangguk.
"aku juga," ucap Irene.
