Namaku mada. Aku adalah guru kelas 5 SD di pinggiran kota. Menjadi guru SD adalah keinginanku sejak bangku SMA. Saat itu, aku melihat sebuah berita di televisi. Seorang anak diperkosa oleh ayah dan pamannya sendiri. Hatiku merasakan sakit yang teramat sangat. Memikirkan rasa pedih yang dirasakan anak malang itu. Karena rasa iba. Aku berpikir untuk menjadi seorang guru. Yang bisa melindungi anak - anak malang seperti anak itu. Membuat masa kecil mereka menjadi lebih menyenangkan. Dan membuat anak - anak itu menjadi manusia hebat esok lusa.
Tahun ini, aku mengajar di kelas 5 lagi. setelah tahun pertamaku sebagai guru juga mengajar di kelas ini. anak - anak di usia ini memang sedikit lebih dewasa. Mereka akan lulus dua tahun lagi. belum lagi rutinitas sekolah SD yang mereka jalani lebih dari 4 tahun membuat mereka lebih mudah diatur. Namun bukan berarti semua anak sama. Ada seorang anak yang menarik perhatianku. Namanya Arka. Seorang anak pendiam yang selalu datang terlambat ke kelas.
Dia jarang terlihat bermain dengan anak lainnya. malah ia terlihat ketakutan saat beradad diantara mereka. Waktu tiga bulan cukup untukku mengamati dan mulai bertanya padanya. Kenapa ia selalu terlihat terpisah dari anak lainnya. namun jawabannya selalu sama. “tidak ada apa apa pak. Sungguh” meski raut wajahnya bertentangan dengan ucapannya.
Ia selalu mengenakan jaket. Meski hari panas sekalipun. Sweater merahnya yang menjadi ciri khas dari seorang arka hanya dia lepas ketika jam pelajaran berlangsung. Akhir akhir ini aku memperhatikannya lebih dekat. Dan aku temukan banyak lebam di tangan dan lehernya. Itu membuatku terkejut. Mungkinkah dia mengalami kekerasan di rumahnya?
Setelah kurenungkan. Aku akan mulai bertindak untuk arka. Sama seperti ambisiku menjadi guru. Melindungi daun - daun muda ini tumbuh. dan besar menjadi anak yang hebat. Mereka adalah manusia manusia rapuh yang tidak tau banyak tentang hidup. Jika mereka memiliki masalah dengan kehidupan mereka di usia ini. harus ada yang menolongnya. Dan itu kewajibanku sebagai guru.
Senja mulai terbakar di kaki langit. Sambil merenungkan tindakanku kedepannya. Aku mengambil tumpukan sajak buatan anak anak kelas. aku selalu menyelipkan tugas sajak setiap 3 bulan sekali. karena itu membuat anak anak lebih mudah berekspresi.
Saat membuka buku paling atas dari tumpukan. Nama arka tertulis dibawah judul sajak itu. Lalu aku teringat tentang dia yang hari ini terlambat mengumpulkan tugas. Sambil tergesa ia menyerahkan tugas itu. Dan terlihat wajahnya lega saat berhasil memberikan bukunya sebelum aku pulang. Sejenak ia berhenti, tersenyum kearahku dan berkata. “ pak, menurut bapak mana yang lebih menyakitkan? Menunggu seseorang? Atau membuat seseorang menunggu?” aku termenung sebentar, lalu teringat. Itu adalah kutipan! Sebuah kutipan dari buku run! Melos karya dazai osamu.
Aku tersenyum. Lalu melengkapi kutipan itu “ bagaimanapun, tidak lagi menunggu, itulah yang paling menyakitkan.” Anak itu tersenyum, dan berkata “ maaf karena selalu membuat bapak menunggu setiap pagi.”
Akupun ikut tersenyum. Melihatnya menghilang di ujung lorong.
Sajaknya berjudul “Kereta.” judul yang biasa saja untuk anak SD. Tapi aku terkejut saat membaca isinya.
Kereta
Oleh : arka
Aku menyukai kereta.
Dengan kereta aku bisa pergi
Menuju ujung yang tak hingga
Dan tak punya akhir lagi
Dengan kereta aku akan pergi jauh
Ke tempat dimana aku bisa tertawa saat aku ingin tertawa
Dan menangis saat aku ingin menangis
Dan aku bisa terbang.. sangat tinggi.
Dengan kereta aku akan pergi
Aku bayangkan wajah ibu yang berseri
Wajah ayah yang tersenyum
Dan teman teman melambaikan tangan padaku
Aku menyukai kereta.
Karena dengan kereta aku bisa pergi
Dari dunia ini.
Aku terkejut. Tulisan ini seperti sebuah pesan perpisahan. Hanya tiga bulan aku mengenal anak ini. dan siapa sangka. Kalimat terakhir dalam sajaknya bisa begitu menyeramkan. Jantungku berdebar. Ketakutan menyeruak ke seluruh tubuhku. jangan - jangan anak ini ingin bunuh diri. tanganku mengepal kuat. Aku harus segera ke rumahnya. Memastikan ia baik baik saja.
Aku mengambil sembarang jaket. Memakainya sambil berlari. Aku tahu rumahnya. Rumahnya tidak jauh dari sekolah. dekat sebuah rel kereta. ya.. sebuah rel kereta. jangan! Jangan berpikir bahwa anak itu akan mengakhiri hidupnya dengan kereta. ini tidak boleh terjadi.
Langit sebentar lagi gelap. Matahari telah lenyap. menyisakan kilau jingga yang sebentar lagi sirna. Aku sudah dekat dengan rumah arka. Namun kakiku berhenti melangkah. di sebuah rel yang sepi. Anak itu telah berdiri disamping rel. Dan sebuah kereta melaju tanpa ampun. Seketika sebelum kereta itu mendahuluinya. Anak itu melangkah. tepat sebelum aku berteriak menghentikannya. Kereta itu menyambar dan mengkoyak tubuh mungil itu. Tubuhnya terpental. Kepalanya terlepas. Dan meggelinding kehadapanku.
Ada suara teriak samar samar. Suara kereta yang lewat membuat suara itu tidak jelas. Kereta itu pergi tanpa permisi. Kini sudah lebih jauh. Suara teriakan itu semakin jelas. Disaat yang sama aku merasakan tenggorkanku sakit. Aku bersimpuh sambil mengambil kepala anak itu. Memeluknya erat. Suara teriakan itu ternyata milikku. Tidak ada lagi suara lain. Hanya aku yang melihat kejadian mengerikan itu.
Ada apa dengan anak ini? kenapa dia sampai mengakhiri hidupnya? Aku bisa melihat senyumnya sesaat sebelum melangkah. tidakkah mati menjadi kebahagiaannya?
***
Semalaman aku tidak bisa tidur. Membantu menjawab pertanyaan polisi. Melihat ayah dan ibu arka yang menangis histeris saat melihat anaknya mati mengenaskan. Tak lama kemudian saat dimintai keterangan ternyata memang, arka sering mengalami kekerasan oleh orang tuanya. Anak anak juga diperiksa, sebagian anak di kelas mengaku pernah melakukan perundungan pada arka. Hingga semua trauma itu memuncak dan membuat anak kecil malang itu memilih mengakhiri hidupnya.
Keesokan harinya aku mengajar seperti biasa. Kabut duka mengungkung bukan saja di sekolah. melainkan seluruh kota. Berita menyebar. Sajak buatannya menjadi pesan kematiannya. Yang didengar seluruh kota.
Saat berdiri di hadapan kelas. melihat anak anak bermuka muram. Aku teringat pada percakapan kecil kami kemarin. “manakah yang lebih menyakitkan? Menunggu seseorang? Atau membuat seseorang menunggu? bagaimanapun, tidak lagi menunggu. itulah yang paling menyakitkan.” Kini tidak ada lagi anak yang harus kutunggu setiap pagi. Dan itu ternyata menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia