Terima kasih, selamat tinggal

5 1 0
                                    

Rana kini terbaring di rumah sakit. Namun aku tidak boleh menjenguknya. Rana marah jika aku pergi kesana. Katanya aku tidak boleh menemuinya sebelum ia sembuh. Tapi aku selalu ingin menemuinya. Aku rindu saat ia bermain ayunan denganku di taman kota. Aku rindu saat kami main hujan hujanan bersama. bagiku rana adalah sahabat yang tak tergantikan.

    Hari ini aku pergi ke rumah sakit. Aku mengintip dari balik gerbang masuk dan mencari kamar tempat rana di rawat. Dan aku menemukannya! Ia ada di lantai dua. Kepalanya menyembul dari balik jendela. Sekilas aku bisa melihat wajahnya. Aku merasa senang. Aku bahagia hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Aku tidak apa jika tak bisa melihatnya dari dekat. Bagiku melihatnya baik baik saja juga sudah cukup.

    Tiga bulan berlalu. aku dengar rana akan menjalani operasi. Aku terkejut. Aku takut jika terjadi apa apa pada rana. Aku membayangkan rasa sakit yang akan diderita rana. Lalu aku pergi ke rumahnya. Aku ingin bertanya pada ibu rana. Apa rana akan baik baik saja? Apa rana akan merasakan sakit saat di operasi? 

    Ibu rana menatapku iba. Dia bilang, rana akan baik baik saja. Aku hanya harus berdoa semoga operasi rana lancar. Rana juga tidak akan merasakan sakit. Rana akan diberi obat bius agar tertidur pulas dan tidak merasakan derita ketika di operasi. Mendengar kabar itu aku menangis. Aku menangis karena tau bahwa rana akan baik baik saja. Aku takut jika rana hilang dan pergi.

    Operasi itu berhasil! Namun aku belum bisa menemui rana. Katanya masih ada operasi lain yang harus dijalani rana. Aku ingin pergi ke tempat rana dirawat. Aku ingin bercerita bahwa aku telah naik ke kelas 4 SD. Sayang sekali rana harus ulang kelas karena terlalu lama dirawat. Aku jika bisa ingin mengulang juga. Aku ingin kembali sekelas dengan rana.

    Enam bulan berlalu tanpa terasa. Dan rana masih saja dirawat di rumah sakit. Aku selalu menitipkan bunga pada ibu rana jika pergi ke rumah sakit dan menitip salam untuk rana agar cepat sembuh. Itu menjadi rutinitasku selama enam bulan terakhir.

    Operasi terakhir akan dijalani rana. Aku berdoa agar dengan ini rana akan sembuh seperti semula. Aku berharap kami bisa bermain lagi bersama. hujan deras mengungkung kota. Membuatku merasakan sepi yang tak terperikan. Sesekali guntur mengguruh dan membuat jendela tempatku melihat bergetar. Semoga rana baik baik saja.

    Tepat setahun sejak rana dirawat. Aku sudah memohon pada ibu rana agar membawaku menjenguk rana. Namun ibu rana selalu bilang bahwa aku belum boleh menjenguknya. Aku menangis. Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menjenguk rana. Dia sahabatku. Sahabat yang dahulu selalu menemaniku saat bermain ayunan. Sahabat yang selalu membelaku saat aku dijahili oleh teman lainnya. aku berhak untuk tau bagaimana keadaan rana. Aku ingin mengatakan pada rana bahwa aku rindu. Aku rindu bermain dengannya.

    Suatu malam. Saat aku sedang membaca buku di kamarku. Tiba tiba telepon rumahku berdering. Ibuku langsung mengangkatnya. Aku penasaran. Siapa yang menelpon malam malam begini. Tak lama ibu memanggilku. Memintaku segera turun. Ibu terlihat sedih. ia menatapku iba. Dan menyerahkan gagang telepon padaku dan bilang padaku bahwa itu rana.

    Aku senang mendengar kabar itu, namun seketika rasa senang itu sirna saat aku mendengar suara rana. 

    “gia, halo?” suara itu terdengar serak dan seperti menahan rasa sakit.

    “halo, rana kapan kita main ayunan lagi?”

    “maafkan aku gia”

    “kenapa minta maaf? Kamu akan sembuh kan?” 

    “maafkan aku karena melarangmu menjengukku”

    “aku juga sedih saat kamu bilang begitu. Tapi jika itu yang kamu mau aku pikir itu yang terbaik. Jadi tidak apa”

    “maafkan aku karena bersikap jahat seperti itu.” Suaranya terdengar lebih lemah. 

    “aku tidak apa rana.”

    “maafkan aku karena tidak bisa main ayunan lagi denganmu”

    Tiba tiba ketakutan menjalar keseluruh tubuhku

    “maafkan aku karena tidak lagi bisa hadir di ulang tahunmu”

    “tidak rana, apa maksudnya?” aku berteriak parau. Mataku mulai meneteskan air mata. Aku tidak ingin percaya dengan apa yang aku pikirkan.

    “maaf karena aku harus pergi, gia” aku bisa mendengar tangisan rana. Benar benar memilukan. Membuatku menangis semakin deras.

    “rana, kita teman baik kan?” 

    “iya, kita teman baik”

    “kalau begitu, mari menjadi teman selamanya”

    “tentu gia, terima kasih. Selamat tinggal”

    “sampai jumpa”

    Setelah kata itu. Aku dengar tangisan histeris ibu rana. Aku juga mendengar tangisan lain yang tidak kukenal dari telepon itu. Aku tahu. Rana telah pergi. Aku simpan gagang telepon itu dan menangis sekeras yang aku bisa. Kini, aku tak punya lagi rana disisiku. Tak ada yang menemaniku bermain ayunan di taman kota. 

    Aku membenamkan wajahku pada pelukan ibu. Aku tergugu semalaman. Saat itu. Aku berpikir tentang kata  terima kasih dan selamat tinggal yang dikatakan rana. Kata itu, adalah kata terakhir rana untukku.

HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang