Jika saja hidup bisa ditawar indra ingin hidup yang lebih mudah. Ia ingin besar di keluarga kaya. Ia jngin rumah mewah dan mobil sedan berjejer di garasi rumahnya. Namun apa daya dirinya dihadapan nasib.
Ia merenungkan itu di pagi buta saat ia hendak berangkat sekolah. Bersalaman dengan kedua orang tuanya. Ia menatap lamat - lamat wajah ibu ayahnya. Garis wajah mereka keras habis dibentur kehidupan yang malang.
Mereka mengontrak rumah kecil di pinggiran kota. Rumah itu terletak di pinggir sungai yang berbau busuk dan dengan lingkungan yang kumuh. Kini sungai itu tidak jauh beda dengan got yang menjijikan. Sisa kotoran manusia yang bukan hanya tinja tapi juga plastik, kursi, kasur dan banyak lagi.
Setiap pagi indra berangkat melewati sebuah batang kayu yang sejak lama dibiarkan berselonjor melintang diatas sungai. Sudah lama sekali sejak jembatan yang ada disana runtuh digerus banjir. Semua sudah minta pada pemerintah untuk degera dibangunkan jembatan. Namun hingga kayu ini tiga kali ganti juga tidak kunjung datang jembatan itu.
Indra datang ke sekolah. Tak ada teman yang menyapanya. Indra memang dianggap aneh karena pendiam. Namun itu bukan karena indra mau. Indra sering dirundung oleh temang - temannya. Ia sering diambil uangnya kalau tidak ia akan dipukuli habis habisan. Padahal ia tak punya uang lain selain hasil ia memulung sampah dan menjualnya ke pengepul sendiri.
Guru datang ke kelas dengan malas. Membawa lembar lks dan menyuruh anak duduk manis. Baca lks dan isi. Yang sudah boleh pulang. Sementara guru itu sibuk mesam - mesem bermain smartphone. Indra menggerutu dalam hati. Bukankah ia membayar spp sekolah ini mahal - mahal tapi kenapa belajarnya hanya dari buku tipis yang berisi rangkuman dan tugas singkat. Sedang yang dibayarnya enak saja duduk depan kelas bercumbu dengan smartphonennya
Indra pun pulang dengan malas. Ia menggeruth dalam hati, jika hidupnya seperti ini saja kapan ia bisa kaya. Jika nasibnya begini saja bagaimana ia bisa punya rumah mewah dan mobil sedan. Sedang sekolahnya saja tak mengajar sebagaimana sekolah mengajar.
Namun bagaimanapun tangannya hanya terkulai lemas. Tak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa menerima nasib hidupnya. Karena baginya takdir itu tak bisa ditawar.
Padahal semua mungkin jika kita percaya dan tak menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia