Hidupku adalah kegagalan. Penyesalan demi penyesalan telah menumpuk dan membuatku merasa tidak pantas lagi hidup. Aku habiskan hampir seluruh hidupku untuk meminta maaf. Dan meminta ampun pada siapapun yang telah aku kecewakan.
Usiaku tiga puluh tahun. dan hingga saat ini tak ada satupun hal yang bisa aku banggakan. Bahkan saat kematian ayahku dua tahun lalu kepalaku hanya tertunduk malu. Aku takut melihat wajah orang orang apalagi keluargaku.
Saat ini aku bekerja sebagai tukang pos. setiap hari mengitari kota dengan sepeda tua yang sudah kusam catnya. Memasukan satu persatu amplop berisi surat yang entah apa isinya. Kadang aku lihat orang orang yang menerima surat itu bahagia. Namun kadang juga kulihat dengan datangnya surat itu wajah mereka berubah muram dan kesedihan mengungkung mereka.
Setelah menyelesaikan tugasku aku selalu pergi ke bar dan minum banyak sekali. tidak ada yang tidak tahu siapa aku disana. Pemabuk yang bertahun tahun berlari dari kegagalannya sendiri. Sambil mereguk segelas bir aku ingat kembali ke masa lalu. saat semua keagagalan ini bermula.
Saat itu. Aku sedang sibuk dengan impian egoisku. Menjadi seorang penulis. aku berhenti bekerja dan terus menulis. Aku percaya bahwa kalimat yang aku tulis akan mengubah dunia. aku yakin sepenuh hati bahwa apa yang aku adalah penulis yang suatu saat akan terkenal dan memiliki banyak penggemar.
Dengan semangat aku kirimkan tulisan itu ke penerbit penerbit ternama. Setelah itu aku menulis lagi cerita cerita baru. Bahkan sebelum tulisanku yang lama belum tentu diterbitkan. Setahun berlalu, tabunganku habis. Dan tidak ada satupun dari tulisanku diterima oleh penerbit. Saat dipanggilpun aku hanya mendapat kritikan menyakitkan dari penerbit dan penolakan mentah mentah yang menyayat hati.
Karena tabunganku habis. Aku tak punya pilihan selain bekerja. Dan disinilah aku akhirnya berada. Tujuh tahun aku terus menulis. Semuanya ditolak dan kertas kertas menumpuk di rumahku. Membuat siapapun yang masuk pasti menyangka bahwa aku sudah gila.
Yang paling membuatku patah hati adalah melihat orang tuaku yang semakin cemas padaku. Mereka mengasihaniku namun aku hanya terus gagal dan gagal. Membuatku merasa malu dan takut. Aku takut melihat wajah manusia. Semua aib dari kegagalanku membuatku merasa tersiksa. Hidupku sudah tidak lagi berarti.
Suatu malam aku pergi ke hutan. Aku tidak ingin hidupku yang memalukan terus berlanjut. Jika hidupku yang tidak lebih berarti dari sebuah kerikil, lebih baik aku mati saja. Aku membawa seutas tali yang cukup untuk mengaitkan kepalaku ke pepohonan. Aku tertawa selam perjalanan. Untuk tak lama kemudian aku menangis. Tidak, aku memang sudah gila sejak lama.
Namun di tengah perjalanan itu aku lihat seekor kelinci yang berlari. Dibelakangnya seekor serigala mengejarnya tanpa ampun. Aku diam melihat kejadian itu dengan jantung beregup kencang. Kelinci itu berhenti melangkah. tak menyia nyiakan kesempatan serigala itu berhasil menggigit kelinci itu. Namun apa yang terjadi. Membuatku tak percaya.
Kelinci itu menggigit balik serigala itu. Membuat si serigala kesakitan, namun tak lama kemudian kelinci itu dibanting kesana sini. Membuat ia menderita. sangat menderita. namun kelinci itu tak menyerah. Hingga ia benar benar mati. Serigala itu pergi membawa bangkai kelinci itu.
Aku mematung di tengah malam itu. Aku yang seumur hidup hanya berlari. Berlari dari kegagalan yang aku alami. Berlari dari tanggung jawab dari kegagalan itu. Membuat banyak orang menderita. bukan karena aku yang gagal meraih impianku. Tapi karena hari ini aku menyerah. Menyerah pada apa yang selama aku yakini. Padahal sebelum mati. Siapapun berhak bermimpi setinggi apapun.
Malam itu. Aku melangkah pulang. Tak ada aku yang menggantung di ranting pohon paginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia