Malam baru saja tiba. Saat aku sedang berjalan menuju sebuah rumah sakit. Disana terbaring seorang teman lama. Aku berniat menjenguknya sambil membawa sedikit buah tangan.
Di perjalanan menuju rumah sakit itu aku memperhatikan sekitar. Melewati pasar yang ramai dan melihat banyak manusia berseliweran. Sibuk sekali. aku lihat seorang pedagang sayur yang berwajah muram karena dagangannya tak kunjung habis. Ada juga pedagang sembako yang wajahnya ceria sekali. karena tokonya penuh oleh pembeli. Itu adalah pemandangan yang kontras dan menyayat hati bagiku.
Lalu aku berjalan melewati sebuah perumahan mewah. Mobil berjejer disana sini. Ada yang punya satu dan dua. Ada juga motor yang kupikir harganya tidak murah. Rumahnya besar dan kebanyakan bertingkat dua. Dengan desain bangunan yang tak perlu diragukan lagi kecantikannya.
Namun tak lama kemudian aku melewati sebuah jembatan. Di bawah jembatan itu aku lihat disana banyak anak anak sedang berlarian. Orang tua mereka sibuk memilah sampah yang akan mereka jual ke pengepul. Namun anak anak itu tetap terlihat ceria. Rumah rumah mereka hanya terbuat dari dinding anyam yang tipis. Belum lagi dikelilingi dengan sampah yang berbau busuk. Jangan tanya soal kendaraan, alas kaki mereka saja asal asalan.
Pada akhirnya aku berpikir kembali tentang diriku sendiri. Aku yang bekerja di sebuah kantor kecil di pinggiran kota. Dengan gaji yang cukup, tidak lebih tidak kurang. Untuk kehidupan sehari hari dan kadang menyisihkan sebagian untuk di kirim ke kampung dan ditabung. Terkadang aku merasa bahwa hidup seperti ini tidak cukup. Padahal, banyak orang yang bernasib lebih menyedihkan. Pada akhirnya bersyukur atas apa yang kumiliki bukan menambah nominal dalam rekeningku. Tapi setidaknya aku lebih merasa bahagia atas apa yang kumiliki. Melihat tawa anak anak itu menyadarkanku. Bahwa harta itu seharusnya bukan penyebab dari kebahagiaan kita. Kita bisa memilih nilai lain dalam hidup agar lebih bahagia.
Akhirnya aku tiba di rumah sakit. Mencari kamar milik temanku itu. Saat kutemui temanku itu tersenyum. Ia bererita tentang kenapa ia bisa dirawat. Ternyata dia terkena tifus. Dia terlalu kelelahan dan kurang pandai mengatur pola makan. Sehingga ia seminggu terakhir terbaring disana.
Lalu tak lama kemudian seorang kawan lain datang. Dia adalah teman lamaku sejak sma. Dia terlihat rapi dan keren. Namun entah kenapa wajahnya sendu. Ia menyapaku sambil melingkarkan tangan pada bahuku.
“wiiih lama juga gak ketemu rad. Kemana aja lu?”
“ada kok, lu aja yang ngilang gatau kemana.” Kami tertawa bersama.
Setelah sibuk bertanya pada kawanku yang sakit. Kamipun pergi ke atap rumah sakit. Disana kami bercerita tentang hidup masing masing. Kawanku ini namanya yanto. Ia bekerja sebagai seorang direktur utama di perusahaan yang ia rintis sendiri. Kini perusahaan itu menjadi salah satu perusahaan besar di kota kami.
Aku sibuk membayangkan betapa senangnya hidup seperti yanto. Ia punya banyak angka nol di rekeningnya. Rumah yang terletak di salah satu kawasan elit di kota ini. lantas apalagi yang ia buatuhkan?
Tak lama justru yanto menangis. Ia baru saja bercerai dengan istrinya. Ia juga merasa lelah dengan hidupnya. Meski menjadi direktur memiliki banyak uang, dia tak punya teman sama sekali. ia kesepian. Ia sadar bahwa banyak manusia disekitarnya yang hanya seorang penjilat. Karena ia memiliki jabatan dan harta. Ia menangis. Tangisan yang memilukan. semakin hari semakin berat ia rasakan. Hidupnya seakan tak punya nilai lagi.
Yanto mulai tenang setelah cukup lama menangis. Aku tak tega meninggalkannya sendiri meski seharusnya aku pulang sejak tadi. Karena ia berhenti menangis akupun mengajaknya turun dan pulang. Namun ia tak mau. Ia ingin merasakan ketenangan disini katanya. Karena aku memang punya urusan akupun pamit pulang padanya.Ia menjabat tanganku dan tersenyum.
Setelah beberapa langkah meninggalkannya aku mulai khawatir padanya. Aku berpikir untuk mengajaknya bertemu di lain waktu dan meminta nomer ponselnya.
Setelah berbalik ternyata ia tidak ada. Aku merasa seperti disambar petir. Ya tuhan. Apa yang terjadi. Tidak.. jangan! Aku berlari menuju bibir atap gedung. Sambil merasakan ketakutan dan rasa sesak yang menyelimuti dada. Ini tidak boleh terjadi!
Dibawah sana. Terbaring temanku yang satu lagi. aku melihat kubangan darah dari kepala yanto yang pecah. Semua orang berteriak dan mulai berkerumun. Aku terpaku. Membisu. Sebelum akhirnya jatuh dan menangis.
Aku bertanya pekerjaannya. Aku tahu nominal yang ada di rekeningnya. Aku tahu ia punya rumah dan kendaraan mewah. aku sibuk bertanya padanya tentang harta bendanya. Tapi aku lupa bertanya. apakah dia bahagia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia